Bahagia Tanpa Harta Berlimpah

oleh -
Ilustrasi bahagia

Oleh : Ikhlasul Fajri               

Hidup Bahagia merupakan dambaan semua orang. Menurut KBBI, kebahagiaan merupakan kesenangan dan ketentraman hidup lahir dan batin. Diartikan juga sebagai sebuah konsep berupa hasil evaluasi kehidupan yang menggambarkan kondisi yang Good Life dan Meaningful Life. Dari konsep ini kita dapat simpulkan bahwa orientasi kebahagiaan adalah bagaimana cara manusia memanfaatkan apa yang mereka miliki untuk hidup dengan senang dan tentram.

Hingga saat ini, indeks kebahagiaan belum dihitung secara rutin (setiap tahun). Hal inilah yang menimbulkan pertanyaan, provinsi dengan karakteristik seperti apa yang memiliki masyarakat dengani tingkat kebahagiaan yang tinggi? Apakah provinsi dengan kemiskinan tinggi, memiliki tingkat kebahagiaan  yang rendah? Apakah provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi memiliki tingkat  kebahagiaan yang tinggi? Apakah provinsi dengan tingkat pengangguran  terbuka tinggi memiliki kebahagiaan yang rendah? Atau apakah provinsi dengan pendapatan perkapita tinggi memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi? Pertanyaan-pertanyaan ini, pada dasarnya muncul karena kelemahan ukuran pembangunan secara makro.  Indikator ekonomi makro, seperti produk domestik bruto dan pertumbuhan  ekonomi ternyata masih menyisakan dua kelemahan mendasar yaitu: tidak  mampu menggambarkan tingkat kemakmuran (welfare) ataupun kesejahteraan  (well-being) bagi seluruh penduduk secara nyata, serta tidak dapat merefleksikan  pemerataan pendapatan bagi semua penduduk suatu negara (Diener &  Seligman, 2004; Easterlin & Sawangfa, 2010; Stiglitz et al., 2009). Oleh karena itu, pada tahun 2021 untuk menutup kekurangan indikator ekonomi makro tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis publikasi Indeks Kebahagiaan Tahun 2021. Sebelumnya, BPS juga pernah mempublikasikan Indeks Kebahagiaan Indonesia pada tahun 2017.

Indeks Kebahagiaan diukur melalui perhitungan tiga dimensi kebahagiaan, yaitu dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan, dan dimensi makna hidup. Nilai dari dimensi tersebut diperoleh BPS melalui hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) tahun 2021 yang dilaksanakan pada rentang waktu tanggal 1 Juli sampai 27 Agustus 2021. Hasil dari survei yang dilakukan BPS, didapatlah bahwa indeks kebahagiaan Indonesia pada tahun 2021 adalah 71,49 poin, meningkat 0,8 poin dibandingkan tahun 2017 dengan indeks kebahagiaan sebesar 70,69 poin. Jika dilihat berdasarkan provinsi, dapat kita lihat bahwa lima provinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi adalah Maluku Utara, Kalimantan Utara, Maluku, Jambi, dan Sumatera Utara, dengan nilai indeks kebahagiaan berturut-turut sebesar 76,34; 76,33; 76,28; 75,17; dan 74,96 poin. Sedangkan lima provinsi dengan nilai indeks kebahagiaan terendah adalah Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua, Bengkulu, dan Banten dengan nilai Indeks Kebahagiaan berurutan sebesar 70,23; 69,98; 69,87; 69,74, dan 68,08.

BACA JUGA :  Etika dan Perilaku Politik dalam Menghadapi Pilkada

Selain menghitung indeks kebahagiaan, BPS juga mengaitkan indeks kebahagiaan tersebut dengan variable-variabel makro ekonomi, seperti pendapatan, pendidikan, dan beberapa variable sosial seperti status pernikah, umur, dan lainnya. Dari publikasi Indeks kebahagiaan 2021 dapat dilihat bahwa pendidikan berpengaruh positif terhadap kebahagiaan, hal ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi juga kemungkinannya untuk hidup bahagia. Hal yang sama juga berlaku untuk pendapatan, dimana semakin tinggi pendapatan, maka akan semakin tinggi juga kemungkinannya untuk hidup bahagia. Pengaruh positif antara Pendidikan dan pendapatan terhadap kebahagiaan dinilai hal yang wajar dan memang selayaknya hal tersebut terjadi. Namun, menariknya dari lima provinsi dengan nilai indeks kebahagiaan terbesar hanya Kalimantan Utara saja yang masuk ke dalam lima provinsi dengan pendapatan perkapita terbesar di Indonesia, yaitu urutan ke tiga. Sedangkan empat provinsi lainnya tidak termasuk kedalam lima provinsi dengan pendapatan perkapita terbesar, bahkan maluku dan Maluku utara  masuk ke dalam provinsi dengan penghasilan perkapita terendah, yaitu maluku pada posisi ke dua terendah dan maluku utara pada posisi ke enam terendah.

BACA JUGA :  Putusan Self-Executing MK dan Demokrasi Konstitusional

Data diatas menunjukkan bahwa pendapatan perkapita yang tinggi tidak menjamin penduduk provinsi tersebut memiliki indeks kebahagiaan yang tinggi atau yang sering disebut dengan “Harta yang melimpah tidak menjamin sebuah kebahagiaan”. Hal ini dapat terjadi karena pada dasarnya  pendapatan dapat menjadi blunder (menjadi negatif) dalam kehidupan sehari-hari, dengan pendapatan yang tinggi, masyarakat dapat mengkonsumsi beberapa hal yang negatif, diantaranya rokok, alkohol, zat adiktif dan sebagainya, yang justru berdampak negatif pada kehidupan penduduk dan akhirnya menurunkan tingkat kesejahteraan penduduk (Graham, 2011). Selain itu, alasan lain kenapa pendaptan perkapita dapat menurunkan indeks kebahagiaan adalah terdapat pengorbanan (opportunity cost) yang harus dibayarkan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi, seperti pada provinsi maju seringkali  terjadi kemacetan, dan kejahatan. Oleh karena itu, meskipun harta mempengaruhi kebahagiaan secara positif, yang terpenting adalah bagaimana harta tersebut dapat memberikan hidup yang senang dan tentram. 

Faktor lainnya yang menarik untuk diulas adalah terjadinya pergeseran persepsi kebahagiaan pada status perkawinan. Tercatat pada tahun 2017, masyarakat yang belum menikah memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi  yaitu 71,53 poin dibandingkan masyarakat yg telah menikah dengan indeks kebahagiaan sebesar 71,09 poin. Sedangkan pada tahun 2021, penduduk yang telah menikah memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dengan indeks kebahagiaan sebesar 72,21 poin sedangkan indeks kebahagiaan pada kelompok yang belum menikah seperti tanpa peningkatan yaitu 71,68 poin. Hal ini dapat terjadi karena dua hal yang pertama semakin meningkatnya kesiapan penduduk saat menikah. Alasan kedua adalah pada masa pandemi mayoritas penduduk, memilih untuk dirumah saja dibandingkan jalan-jalan di tempat hiburan. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab pergesaran kecenderungan tingkat kebahagiaan, dimana pada tahun 2017 penduduk yang belum menikah masih dapat dengan bebas untuk melakukan aktivitas social yang mereka sukai, sehingga pada tahun tersebut penduduk yang belum memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan penduduk yang telah menikah.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan kebahagiaan. seperti kepemilikan harta, tingkat pendidikan, dan factor-faktor lainnya. Namun pada akhirnya memiliki harta yang banyak tidak menjamin seseorang akan hidup bahagia, memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga tidak menjamin kehidupan yang bahagia, begitu juga dengan memiliki anak dan pasangan. Karena pada dasarnya  orientasi kebahagiaan adalah bagaimana cara manusia memanfaatkan apa yang mereka miliki untuk hidup dengan senang dan tentram.

BACA JUGA :  Aspek Hukum, Polemik Larangan Kampanye atau Tindakan Pemerintah pada Norma Pasal 71 UU Nomor 10

***Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Sigi