Irama bobolon barakat masih terdengar, semakin dalam, mengajak orang-orang menggoyang-goyangkan kepala atau kaki. Seorang perempuan yang akrab disapa Mama Rifa (51) mulai mengitari bambu mengikuti irama bobolon barakat bahkan sebelum bambu-bambu itu tegak seluruhnya.
Irama berhenti sebentar, beberapa doa dibacakan dari dalam kamar tempat disiapkannya sinolon. Semua para tetua mendekat ke ruangan yang terasa magis.
Gendang kembali ditabuh, lebih keras, lebih energik, irama berganti menjadi baulemo. Mama Rifa keluar dari kamar, memegang kain merah dan dikibas-kibaskannya ke orang-orang yang duduk bersila sambil menari.
Tidak lama Mama Bayu (53) keluar pula dari kamar, kain merah menutupi pundaknya, sementara tangannya memegang kain yang sama. Keduanya menari dengan tersenyum, sesekali pada orang-orang tertentu yang ikut bersila mengitari bambu itu, mereka mengibas-ngibaskan kain merah yang mereka pegang. Sesekali juga mereka berhenti, memegang kepala seseorang dengan kain merah itu, merapalkan doa, dan kembali menari.
Alat musik berhenti dimainkan, mama Bayu dan mama Rifa berhenti menari, menunggu waktu magrib berakhir.
Malam hari, keduanya terus menari. Selama gendang ditabuh, selama itu mereka menari. Gerakan tarian itu muncul dari dalam diri seseorang yang kena lamping, mengikuti kata hati. Konon, Ratu Mapaang dan Putri Nur Sapa bahkan para dayang-dayang, mereka selalu menari dengan irama itu, irama baulemo.
Terkait irama pengiring, selain bobolon barakat dan baulemo, total ada tiga irama pengiring yang dimainkan ketika arwah masuk ke tubuh seseorang, mama Rifa atau mama Bayu, mereka akan meminta irama diganti jika ingin.
“Tapi biasanya yang diminta itu baulemo. Baulemo itu ada musik untuk tarian para leluhur dan dayang-dayangnya. Irama yang pertama itu khusus untuk keramat, bobolon barakat. yang kedua untuk iringan tari-tarian, biasanya mereka (mama Rifa dan mama Bayu) minta, karena suka bermain. Yang ketiga itu tabuhan cakalele untuk mengiringi balatindak. Itu tergantung dari mereka juga, kalo mereka minta, ditabuh, kalo tidak ya tidak ditabuh,” jelas Sumitro (48), salah satu penabuh alat musik.
Para pemain musik ditugaskan kepada mereka yang leluhurnya juga menabuh alat musik. Jika kakek mereka memegang gendang, mereka juga memegang alat musik itu. Begitu juga dengan alat musik lainnya.
Pukul 7 pagi rombongan meninggalkan rumah Adjis Adjahum, berjalan kaki, 3 baris dengan beberapa pengawal menuju makam Ratu Mapaang. Orang dewasa, remaja, anak-anak, ikut berjalan kaki. Untuk sementara, jalur Bobolon – Sisikan – Mominit hingga Adean ditutup dari pengendara.
Empat orang perempuan paruh baya memakai blus merah yang panjangnya sepaha mereka. Beberapa blus dilengkapi payet-payet berwarna kuning emas di bagian lingkaran leher dan pergelangan tangan.
Sementara para laki-laki memakai kain merah segitiga yang diikatkan di pinggang. Ada yang memakai di pinggang dan pundak, dan ada yang hanya memakai di pundak. Tetua adat lainnya memakai baju koko putih dilengkapi kukup. Para pengawal juga memakai baju merah yang dilengkapi dengan kukup dan tombak.
Sepanjang jalan, dengan jarak tertentu, bendera-bendera adat dipasang, selain sebagai penanda sedang ada gelaran adat, juga penanda jalan hingga ke makam.
Di makam, dianjurkan bagi yang belum pernah menginjak selasar makam yang sudah ditegel untuk naik dengan melepaskan alas kaki, seorang tokoh adat yang bernama Wahid (58) -penanggung jawab serangkaian prosesi adat -memegang kaki orang-orang yang akan naik bergantian sambil membaca doa.
Mereka yang memakai baju merah dan kain ikat pinggang merah duduk di pelataran makam bersama beberapa orang. Selebihnya menepi, di bawah pohon, sedikit menjauh dari makam. Doa-doa kembali didaraskan di depan asap kemenyan yang menyatu dengan udara.
Rombongan kembali pulang dengan berjalan kaki juga. Seseorang berbaju pengawal dan memegang tombak mulai menari balatindak di depan pagar rumah Basalo Lampa, menunggu dan menyambut rombongan dari makam yang masih beberapa meter.
Tarian balatindak dari pengawal itu disambut oleh pengawal yang mendampingi rombongan pergi ziarah.
Mama Rifa berjalan paling depan, dikawal pengawal di sebelah kirinya, dan Wahid di sebelah kanan. Dua pau bakalinga mempersilakan ia masuk dengan takzim, sementara seorang pengawal yang masih menari balatindak di depan mama Rifa.
Mama Rifa, mama Bayu dan rombongan pau bakalinga lainnyamasuk ke ruang inti acara. Sementara di halaman, beberapa pengawal masih menari balatindak.
Irama cakalele semakin keras, mama Rifa dan mama Bayu mulai menari dengan irama itu. Lincah dan energik. Seseorang juga turut menari lebih lincah, gerakan tangannya berbeda dengan mama bayu dan mama Rifa, sorot matanya lebih tajam.
Ia dipercaya sebagai dayang Ratu Mapang. Dipercaya pula, ketika kembali dari makam, akan ada beberapa orang yang lamping selain mama Rifa dan mama Bayu. Mereka adalah para pengawal dan dayang-dayang Ratu Mapaang.