Babasaloan Lampa, Catatan Ratusan Tahun tentang Kepemimpinan Perempuan

oleh -
Tari Balatindak. (FOTO: media.alkhairaat.id/Iker)

Hari Aliansi Masyarakat Adat Internasional yang diperingati setiap 9 Agustus membawa serta sebuah narasi panjang tentang adat di tanah Benggawi.

Tanah Banggai yang mulai melenggangkan berbagai acara adat belakangan ini, tentu tidak terlepas dari aktivitas para anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Banggai Laut.

Belum lama ini, tepatnya di tanggal 28 sampai 31 Mei, sebuah acara adat di tanah itu dihelat. Sepanjang hari-hari itu, gendang ditalu sahut-sahutan dengan bunyi gong dan alat musik lainnya menghasilkan irama bobolon barakat, irama yang menjadi musik dasar pengiring seluruh prosesi adat dalam Babasaloan Lampa. 

Babasaloan Lampa adalah acara adat di Desa Lampa, Kecamatan Banggai. Selain sebagai simbol adat, Babasaloan adalah sebuah ingatan tentang kepemimpinan perempuan yang masih dirawat di tanah Lampa yang saat ini disebut juga Bobolon.

Proses merawat ingatan sejarah itulah yang disebut Babasaloan, yakni ziarah ke makam Ratu Mapang dan ziarah ke makam Ratu Nur Sapa (ibunda Abukasim) yang disebut Batomundoan. Kedua makam secara administratif termasuk ke dalam wilayah Desa Adean, Kecamatan Banggai Tengah.

Makam Ratu Mapaang terletak di sebuah tempat yang dinamakan Samadang, dapat dilalui dengan menyusuri jalan di samping Balai Desa Adean. Sedangkan makam ibunda Abukasim terletak di Bungkuko Tatandak.

Secara bergantian, Babasaloan dan Batomundoan diadakan untuk kedua sosok tersebut, yang memiliki hubungan kekerabatan keponakan dan tante.

Konon, ketika acara yang dilangsungkan untuk salah satu dari mereka, keduanya akan hadir secara ghaib, dalam istilah orang Banggai disebut dengan lamping, yaitu ketika tubuh seseorang dimasuki roh halus, tetapi masih memiliki kesadarannya sendiri, berbeda halnya dengan kerasukan.

Berbagai proses sakral dilakukan dengan khidmat sebelum dan sesudah ziarah makam. Beruntung awak media ini dapat mengikuti Babasaloan Lampa Tahun 2023, yang dilaksanakan 4 hari 3 malam pascapanen ubi Banggai. Pasalnya, ada tahun di mana acara adat ini tidak dilakukan.

Perjalalan kembali setelah ziarah makam (FOTO: media.alkhairaat.id/iker)

Kali ini, tiang-tiang tenda dari besi pun bambu sudah terpancang di halaman rumah Adjis Adjahum (Basalo Lampa) tepat di sisi kanan rumah adat Lampa. Lokasi acara ditentukan dalam musyawarah, dan bergantian dilakukan di rumah yang masih memiliki garis keturunan dengan penduduk asli Bobolon.

Rumah Basalo Lampa sudah ramai bahkan sebelum acara dimulai. Lalu lalang orang-orang menyiapkan acara, mulai dari membuat panggung mini dari papan dan bambu, mengisi air ke dalam bambu, membuat kue, memasak, hingga menyiapkan seperangkat sirih pinang. 

Babasaloan sesungguhnya menjadi tali temali yang menghubungkan beberapa prosesi adat dalam satu kesyukuran yang tidak hanya mengenang jasa pemimpin perempuan tersebut, tetapi juga kesyukuran atas alam Banggai yang bagus sebagaimana dalam lirik lagu Banggai Tano Monondok, yang menumbuhkan tanaman endemik, ubi banggai.

Itulah mengapa, Babasaloan identik dengan masa panen ubi Banggai, dan menjadi alarm sebagai waktu-waktu paling baik melakukan upacara, paling lambat dalam masa 5 kali panen ubi. 

Sehari sebelum dilaksanakan acara, di bawah tenda terpal berwarna biru langit, Rusli Tolani selaku ketua panitia duduk rehat sambil bercerita dengan beberapa orang.

Kepada kami, Rusli menuturkan bahwa Babasaloan melambangkan persatuan dan kesatuan serta bentuk silaturahmi yang telah dilaksanakan setiap tahun dan sudah berusia ratusan tahun, dibuktikan dengan kukup atau topi Basalo Lampa yang usianya sudah ratusan tahun.

“Tujuannya adalah mengingat kembali atau mengenang jasa Ratu Mapaang dan perjuangannya sehingga terbentuklah tanah Lampa,” tutur Rusli.

Tanah Lampa dalam narasi Babasaloan tidak hanya melingkupi Desa Lampa saja sebagaimana catatan geografisnya.

Masih dalam penuturan Rusli Tolani, bahwa tanah Lampa meliputi Desa Paisu Mosoni, Tolise Tubono sampai Desa Bone Baru, kemudian Desa Bongo. Dari arah utara Banggai, masuk ke  pusat kota Banggai, mulai dari pelabuhan Banggai, terus hingga Bobolon, Mominit, Adean, Kapela, sampai Desa Lambako.

“Di Lambako itu ada namanya tokoluon Lampa. Makanya organisasi ini kita pakai nama Babasaloan Lampa, bukan Desa Lampa. Nanti yang akan ikut acara itu semua wilayah Lampa,” imbuhnya.

Dalam catatan kronologis Babasaloan Lampa yang ditulis oleh Halimah P. Adjahum, wilayah Lampa  senada yang disampaikan Rusli. Sementara tanah Lampa ada karena kehadiran seorang panglima perang perempuan dari Kerajaan Tompotika.

Menyadur dari Buku Sejarah Sosial Politik Kerajaan Banggai, Pasukan Tobelo menyerang Tompotika sekitar abad ke-15, ketika Adi Cokro baru saja menyatukan 4 kerajaan kecil di Banggai.

Pada masa peperangan itu, Raja Logani wafat dan digantikan adiknya, Mapaang, untuk memimpin pasukan melawan Tobelo. Pasukan Tobelo mundur, dan sebagian penduduk Bualemo pindah ke bagian wilayah Gorontalo. Sedangkan Ratu Mapaang, dan sebagian pasukannya pindah mukim ke Banggai atas ajakan Raja Adi Cokro, sebagai bentuk perlindungan kepada Ratu Mapaang.

Di Banggai, Adi Cokro memberikan Ratu Mapaang wilayah Lampa yang berkedudukan di Bobolon untuk tinggal dan mengembangkan kehidupannya. Ratu Mapaang kemudian diberi gelar Basalo Lampa. Meski tidak sama kedudukan dan tugasnya dengan Basalo Sangkap, Ratu Mapaang selalu menjadi mitra berpikir Adi Cokro dalam pemerintahan, dan para Basalo Sangkap harus berkordinasi dengannya jika akan mengambil kebijakan.

Di Bobolon, telah ada penduduk asli yang terdiri dari 6 keturunan yaitu Sunggal, Adjahum, Tolani, Manuala, Asubi dan Tambu.

Karenanya, Ratu Mapaang ingin agar gelar dan tugas Basalo Lampa diemban oleh salah satu dari 6 keturunan itu. Sehingga Basalo Lampa yang pertama adalah Sulaiman, yang merupakan pendamping raja Adi Cokro. 

Pada abad ke-16, Ratu Mapaang wafat. Katanya, sebelum meninggal, masih dalam keadaan sadar, ia mengatur pemikulan kerandanya sendiri dari Sabol/Tolise Tubono (tempat tinggalnya), melewati Mantagalan, Paisu Malino, Kotion, dan berhenti di Samadang.

Di Samadang lah ia meninggal dan dimakamkan dengan nisan dari senjata yang ia gunakan untuk melawan Tobelo.

Laporan : Iker
Editor : Rifay