PALU- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Sulteng Alimudin Paáda meminta meninjau kembali kebijakan larangan pada warga penyintas membangun tempat tinggal pada zona merah bencana, tapi lebih pada penerapan konstruksi bangunan.

“Sejak awal saya tidak setuju, saya sangat tidak setuju adanya zona merah, zona kuning, zona hijau. Boleh dilihat hasil pansus (panitia khusus),” kata anggota DPRD Sulteng Alimudin Pa’ada saat audiens bersama Forum Penyintas Huntara Layana Indah dan Huntara Hutan Kota di Aula Gedung, Kantor DPRD Sulteng, Senin (9/1).

Ia mengatakan, sejak awal dirinya sudah menyampaikan kepada presiden, DPR dan semua harus bertanggung jawab terhadap zona merah. Jepang satu negara itu zona merah, tapi tidak ada larangan membangun.

“Ini harusnya diperjuangkan. Saya sudah bertemu badan geolog di Jakarta. Mereka menyampaikan tidak pernah ada informasi melarang untuk membangun di zona merah,” ucapnya.

Olehnya, ini harusnya diprotes. Menurutnya, silahkan membangun tapi konstruksinya seperti apa.

Ditambah lagi dia merasa miris, warga dilarang membangun sementara lahan untuk mereka juga tidak ada.

“Saya sudah berapa kali sampaikan, wartawan tulis saya punya pernyataan dan saya bertanggung jawab atas pernyataan ini,”ucapnya.

Sebab kata dia, dirinya bertemu langsung dengan Badan Geologi. Kata dia, tidak pernah mereka melarang, tapi entah kenapa kebijakan seperti itu muncul.

Forum Penyintas Layana mendatangi gedung DPRD mengadukan nasib mereka belum mendapat hunian tetap. Sudah empat tahun tinggal di Huntara yang kini tidak layak, mereka kembali diperhadapkan pemilik lahan mengambil alih lahannya.

Dua blok hunian sementara tempat mereka tinggal sudah dibongkar pemilik lahan. Setelah melalui berbagai upaya negosiasi dan komunikasi melibatkan pihak-pihak terkait, disepakati Pemkot Palu bersedia membangun hunian bila ada lokasi.

Lokasi hunian sudah didapatkan seluas 15.190 M2 dengan harga Rp25 ribu permeter, sehingga bila ditotal Rp379.750 juta. Permasalahan timbul penyintas tidak memiliki uang membeli lahan. Sesama penyintas lalu urunan donasi setiap Kepala Keluarga (KK) tinggal di Huntara sebelumnya 77 KK, tapi selama proses sisa 64 KK setiap KK dibebankan membayar Rp42 ribu, sehingga terkumpul Rp2,5 juta dan Rp2,6 juta hasil urunan anggota LBH Sulteng, sehingga terkumpul Rp5,1 Juta, sebagai tanda jadi kepada pemilik lahan untuk mengikat dengan batas waktu enam bulan sudah di lunasi.

Dia mengatakan, dari sisa pembayaran itulah, maka pihaknya mendatangi DPRD dan meminta tolong mencarikan solusi. (IKRAM)