PALU – Akademisi Universitas Tadulako (Untad) Palu, Ruslan Husen menyebut aktivitas pertambangan di Sulawesi Tengah (Sulteng), baik legal meupun ilegal semua dibekingi oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

“Bekingnya ada bintang jenderal, sehingga tingkatan bawah tidak bisa berkutik ketika mencoba menyentuhnya,” kata Ruslan, diamini peserta saat menjadi pemateri dialog publik yang digelar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu, Rabu (17/12) malam.

Pada kegiatan dialog dengan tema “Sulteng Darurat Tambang, Masyarakat Butuh Kepastian Kapan Berakhirnya Ilegal Mining Sulawesi Tengah?” ini, Ruslan memaparkan tiga indikator pertambangan ilegal yakni ketiadaan izin, pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan.

“Dari situ dapat dibedakan, mana kegiatan pertambangan yang legal karena memenuhi dokumen perizinan dan mana yang ilegal karena tidak memenuhi ketentuan tersebut,” ungkapnya.

Namun demikian, kata dia, pemenuhan dokumen perizinan tidak serta-merta memberikan legitimasi untuk melakukan aktivitas pertambangan.

Ruslan membeberkan contoh kasus pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong. Ketika dilakukan kunjungan lapangan dan hasil klarifikasi dengan Kepala Dinas Lingkungan Hidup, menyebutkan tidak terdapat aktivitas pertambangan di lokasi.

Namun faktanya, kata Ruslan, menunjukan sebaliknya. Terdapat aktivitas pertambangan dan termasuk keberadaan alat berat.

“Kucing-kucingan. Itu terus terjadi sampai sekarang, pengawasan dan pihak terkait terjalin sebab semua dapat setoran, meskipun tidak dapat dibuktikan secara langsung, menjadi pengetahuan umum dimasyarakat,” ujarnya.

Hal lain, sebut Ruslan, di Parimo, meskipun terdapat koperasi yang mengantongi Izin Pertambangan Rakyat (IPR), juga masih dikategorikan ilegal, sebab Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) belum ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

“Kepemilikan IPR tidak serta merta melegalkan aktivitas pertambangan, apabila belum dilengkapi dokumen teknis, seperti rencana tambang dan pasca tambang,” ujarnya.

Ruslan menambahkan, aktivitas pertambangan ilegal berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, sebab sejak awal tidak disertai perencanaan mitigasi, pencegahan maupun lingkungan. Semata berorientasi ekonomi, tanpa memperhatikan dampak ekologis.

Olehnya, kata Ruslan, penanganan perlu dilakukan pencegahan, meskipun kewenangan perizinan pemerintah daerah dibatasi Undang-undang nomor 23 tahun 2014, terdapat undang-undang lain, seperti Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk bertindak dalam kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Selanjutnya, kata dia, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dibebankan kepada APH. Penegakkan hukum harus dikawal oleh partisipasi aktif masyarakat, termasuk organisasi kemasyarakatan dan organisasi mahasiswa.

“Diskusi publik, konsolidasi internal, dialog eksternal, hingga aksi penyampaian pendapat merupakan bagian dari upaya pengawasan,” ujarnya.

Narasumber lain, dalam hal ini Bupati Sigi periode 2014-2024, Moh Irwan Lapatta berpandangan, persoalan pertambangan ilegal di Sulteng sejatinya berada dalam tata kelola ideal. Struktur pemerintahan tersusun jelas, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota.

“Secara normatif, sistem ini semestinya mampu mengendalikan aktivitas pertambangan  melanggar hukum. Namun, realitas di lapangan berbeda,” tuturnya.

Lanjut dia, sejumlah wilayah di Sulteng memperlihatkan dampak serius aktivitas pertambangan emas ilegal, seperti di Buol, Toli Toli, Poso, Parigi Moutong, hingga kawasan sekitar Palu.

Di Poso, misalnya, kata Irwan, aktivitas tambang di wilayah Dongi-Dongi berdampak langsung pada pencemaran lingkungan. Limbah berbahaya, termasuk sianida, mengalir ke sungai-sungai  menjadi sumber air masyarakat dan bermuara hingga ke Palu.

“Ancaman ini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga ancaman kesehatan dan keselamatan generasi mendatang,” katanya.

Irwan memberikan, gambaran pengalaman internasional, seperti kasus Minamata di Jepang, menunjukkan bahwa pencemaran logam berat dan bahan kimia beracun dapat menimbulkan dampak jangka panjang hingga puluhan tahun, termasuk kematian massal dan kelahiran cacat.

Indikasi serupa dikhawatirkan mulai muncul di wilayah pesisir dan perairan Sulawesi Tengah akibat akumulasi limbah tambang.

Irwan mengatakan, undang-undang lingkungan hidup secara tegas mengatur sanksi pidana bagi perusakan lingkungan, terlebih di kawasan konservasi dan hutan lindung. Namun, dalam praktiknya, hukum kerap tidak berjalan.

Kata dia, banyak kasus tambang ilegal  telah memiliki bukti kuat—mulai dari alat berat, bahan kimia berbahaya, hingga kerusakan kawasan lindung—tetapi tidak dituntaskan hingga ke proses hukum.

Olehnya, tegas Irwan, political will pemerintah menjadi kunci utama. Tanpa keberanian politik untuk menegakkan hukum secara konsisten, undang-undang hanya menjadi simbol tanpa daya paksa.

Ie menekankan bahwa tambang ilegal bukan semata persoalan hukum, melainkan persoalan masa depan lingkungan, kesehatan publik, dan keadilan sosial.

“Tanpa political will yang kuat dan tindakan nyata, Sulawesi Tengah berisiko mewariskan bom waktu ekologis bagi generasi mendatang. Jadi tidak hanya sekadar diskusi, tapi ada rekomendasi dihasilkan diserahkan ke gubernur Sulteng Anwar Hafid,” tandasnya.