PALU – Lembaga Pengawas Pelayanan Publik, Ombudsman RI Perwakilan Sulteng telah menyiapkan kurang lebih 100 orang untuk mendesak pemerintah agar segera menghentikan aktivitas pengerukan pantai alias reklamasi di Pantai Teluk Palu, tepatnya di Kelurahan Talise oleh PT. Yauri Investama dan di Kelurahan Lere oleh PT. Mahakarya Putra Palu.
Memang, gerakan massif yang dilakukan berbagai elemen, termasuk Ombudsman, sudah membuat pemerintah dan pihak pengembang (atas nama Perusda), kebakaran jenggot. Mungkin karena “terpaksa”, aktivitas itu dihentikan. Tapi masih dalam status “dihentikan sementara waktu”.
“Okelah sementara waktu kalau memang begitu kata undang-undang. Tapi kedepan tidak boleh lagi, harus dihentikan total. Pantai yang direklamasi harus dikembalikan sediakala. Kita mau lihat bagaimana mereka menggali ulang material yang sudah ada. Menimbun memang gampang, tapi bagaimana kalau menggali dan mengangkat,” tegas Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulteng, Sofyan Farid Lembah, saat kegiatan Trainng of Trainer (ToT) Bagi Ormas dan Media Massa se-Kota Palu, di salah satu hotel, Kamis (09/11).
Ombudsman sendiri pernah beberapa kali mengeluarkan saran terkait kegiatan reklamasi diatas lahan seluas 62,83 Ha (38,33 Ha di Talise dan 24,5 Ha di Lere). Pasalnya, aktivitas yang berlibi pengembangan sector wisata itu, diantaranya tidak mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Bahkan, Perda Kota Palu Nomor 16 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010-2030, tidak mengalokasikan ruang untuk reklamasi atau mendeliniasi kawasan reklamasi pantai.
Kepada Gubernur Sulteng, Ombudsman menyarankan agar melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang di Kota Palu, melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap Pemkot.
Pada kegiatan ToT kemarin, Sofyan juga menyampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan pengawasan pelayanan public yang menurutnya melibatkan pihak internal dan eksternal. Untuk internal, kata dia, melibatkan langsung pihak birokrasi. Sedangkan eksternal didalamnya melibatkan DPRD, Ombudsman dan masyarakat.
“Ini yang terjadi saat ini dan banyak yang tidak tahu. Ternyata dalam hal pengawasan, posisi masyarakat itu setara dengan DPRD dan ombudsman. Makanya, masyarakat yang sering menyampaikan aspirasi memprotes kebijakan pemerintah sering dipandang sebagai provokator,” katanya.
Olehnya, dia mengajak kepada masyarakat untuk berperan aktif mengawasi proses pelayanan public, termasuk berani melaporkan kepada ombudsman jika mendapati kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan pejabat atau instansi pelayanan public. (RIFAY)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.