DONGGALA – Asosiasi Tenun Donggala (ASTED) menyatakan komitmennya untuk memajukan tenun Donggala sebagai bagian pelestarian Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Di antara komitmen itu dengan memfasilitasi bantuan bahan baku benang pada kelompok pengrajin tenun di Kecamatan Banawa Tengah, khususnya di Desa Towale. Selain itu, tampil sebagai narasumber seminar, workshop dan lokakarya tentang tenun yang diadakan pemerintah maupun swasta.

Ketua ASTED Donggala sendiri, yakni Imam Basuki, meskipun mengembangkan usaha penjualan aneka tenun di Kota Palu, namun pria kelahiran Donggala 5 Desember 1968 ini tetap komitmen dengan tempat kelahirannya.

Tahun 2020 lalu melalui wadah ASTED, ia bersama Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Tengah mendorong peningkatan kapasitas pengrajin di Desa Towale. Saat ini, di desa itu telah dibangun galeri oleh pihak BI, dengan harapan tradisi tenun tetap tumbuh.

“Aktivitas saya bergerak di dunia usaha tenun tidak serta merta terjadi, melainkan melalui sebuah proses panjang yang berawal dari orang tua ketika masih tinggal di Kota Donggala. Bapak saya, Ismail Sukiman bersama ibu saya Kartinah semula merupakan penenun di Maleni, Donggala sekaligus menjadi instruktur bagi penenun atau pengusaha bisnis tenun yang digeluti Husen,” cerita Imam Basuki, Senin (27/02).

Husen yang dimaksud adalah pemilik sebuah perusahaan yang pernah mengalami kejayaan di Donggala. Nama usaha itu dikenal PT. Husen.

Husen yang keturunan Arab itu menjadi bagian penting dari sejarah perjalanan Tenun Donggala pasca kemerdekaan. Ketika itu, ada banyak orang Jawa didatangkan ke Donggala untuk jadi penenun, salah satunya orang tua Imam Basuki pada dekade awal 1960-an.

Sejak tahun 1970, keluarga Ismail-Kartinah pindah ke Kota Palu dan bermukim di Jalan Mangga untuk mengembangkan sendiri usahanya. Di tempat usaha mandiri itu mempekerjakan beberapa pengrajin yang ada di Palu.

“Sejak itu, saat masih kecil saya sudah terbiasa dengan tenun. Bangun tidur langsung ketemu benang sutra. Hampir setiap hari melihat orang tua kami mencelup benang dan menenun,” kenang Imam Basuki anak kesepuluh dari 14 orang bersaudara.

Dengan pengalaman masa kecil yang sudah akrab dengan tenun, secara perlahan akhirnya ikut tertarik dengan tenun. Secara bertahap pula ia memiliki kemampuan menenun, membuat motif hingga dapat melakukan pewarnaan dengan cara pencelupan.

Sebetulnya, keterampilan menenun umum dilakukan kaum wanita, tapi bagi Imam Basuki demi menjadi bagian pelestarian usaha orang tua, ia komitmen ikut mendalami.

Ketekunan itu membuahkan hasil. Sebagai laki-laki penenun, terutama ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) bisa diteruskan. Sejak ayahnya meninggal dunia tahun 1999, Imam terus melanjutkan tradisi keluarganya hingga bisa membuka toko diberi nama Anugrah Sutra Tenun Donggala.

“Harta yang paling berharga yang ditinggalkan orang tua kami adalah warisan keterampilan menenun telah mengantarkan anak-anaknya menjadi pengusaha tenun. Karena itu kami menyandarkan ekonomi dari bisnis tenun mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga membangun rumah dan menyekolahkan anak,” kata Imam Basuki.

Dari perjuangan itu pula, Imam Basuki yang dikenal humoris ini sering menjadi instruktur pelatihan maupun seminar tentang tenun di berbagai kegiatan.

Beberapa penghargaan pernah diterima sebagai wujud komitmen pada tenun, salah satunya dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulteng.

Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay