Indonesia memiliki 715 bahasa ibu, dan merupakan negara kedua yang memiliki jumlah bahasa ibu terbanyak di dunia setelah Papua Nugini dengan jumlah bahasa 840. Di Indonesia, wilayah yang memiliki bahasa ibu terbanyak adalah Papua, dengan 428 bahasa.

Bahasa Ibu merujuk pada bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. 

Di Sulawesi Tengah (Sulteng) sendiri, berdasarkan data Peta Bahasa Kemendikbud tahun 2008, Sulteng adalah wilayah dengan bahasa ibu terbanyak dari wilayah Sulawesi lainnya, dengan jumlah 21 bahasa ibu dan 61 dialek.

21 bahasa ibu dengan 61 dialek tersebut yakni, Bada (2 dialek), Bajo, Balaesang (3 dialek), Banggai (4 dialek), Besoa, Bugis (4 dialeg), Bungku (7 Dialek), Buol (2 dialek), Dondo (5 dialek), Kaili (10 dialek), Kulawi (3 dialek), Lauje Malala, Pamona (7 dialek),  Pipikoro (2 dialek), Saluan (2 dialek), Sangihe Talaud, Seko, Taa (7 dialek), Tombatu, dan Totoli (3 dialek).

Dari 21 bahasa itu, bahasa daerah Kaili, Pamona, Saluan, dan Banggai, akan direvitalisasi tahun 2023 ini. Tahap revitalisasi akan dimulai pada bulan Maret tanggal 2 dan 3, dengan mengundang kepala daerah dan Kepala Dinas Pendidikan dari 4 bahasa ibu itu (Donggala, Poso, Banggai, Banggai Kepulauan, dan Banggai Laut) ke Kota Palu untuk membangun kesepahaman.

“Tanggal 2 dan 3 Maret, kami akan mengundang perwakilan 10 orang per kabupaten, termasuk Bupati harus hadir, untuk membangun kesepahaman agar kemudian kebelakangan bisa berjalan dengan baik. Karena kita harus berjabat tangan, bahasa ibu berada di wilayah Pak Bupati, penuturnya berada di wilayah Pak Bupati, kami ini (Balai Bahasa Sulteng) hanya fasilitator,” ujar Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulteng, Asrif, saat memberi sambutan penutupan lomba Hari Bahasa Ibu di aula Balai Bahasa Sulteng, Selasa (21/02).

Setelah revitalisasi bahasa tersebut, kata dia, kegiatan selanjutnya akan diikuti dengan pelatihan guru-guru master penyusunan modul pelatihan guru, sampai pada festival-festival daerah.

Anak-anak yang terpilih dalam lomba pidato dan bercerita menggunakan bahasa daerah akan ditarik dari semua kabupaten ke Kota Palu untuk mengikuti Festival Tunas Bahasa Ibu pada bulan November 2023, dan festival nasional bulan Februari 2024.

“Kami akan menyusun modul untuk bahan ajar yang adaptif sesuai sekolah. Kami akan mengundang para guru master untuk mengajarkan pada guru-guru yang lain. Juga kami akan minta Pemda di Kota Palu dan Donggala untuk melaksanakan festival tunas bahasa, lomba-lomba. Nanti ada Oki komedian yang akan menyusun modul komedi tunggal,” jelas Asrif.

Usai penutupan lomba, kepada Media Alkhairaat, Asrif menjelaskan alasan mengapa empat bahasa daerah tersebut dipilih dari bahasa ibu lainnya. Hal itu dikarenakan kekuatan sumber daya di Balai Bahasa yang terbatas.

“Kalau kami memilih banyak bahasa, khawatir tidak maksimal. Kami harus menyesuaikan dengan kekuatan personel yang akan mengawal lapangan, maka empat bahasa ini pun juga adalah keberanian kami yang akan kami jalankan dengan sebaik-baiknya. Walaupun kami sadari masih banyak bahasa daerah di belakang sana, tetapi program yang kuat adalah program yang benar-benar dipetakan, sehingga tahun ini kami merasa sesuai dengan SDM kami, baru empat bahasa yang bisa kami laksanakan revitalisasi,” jelasnya.

Asrif juga mengatakan bahwa di Peta Bahasa Kemendikbud baru ada beberapa dialek. Misalnya Bahasa Pamona, ia pernah bertemu dengan dengan ketua adat Pamona, mereka mengatakan bahwa Bahasa Pamona memiliki lebih banyak lagi dialek.

“Kalau kata ketua adat, dijelaskan di kampung, di gunung sana, dialeknya seperti ini. Turun-turun ke sini, beda lagi. Nah kami akan melengkapi data ini dengan mengumpulkan para tokoh bahasa. Karena jumlah dialek, kami itu masih amat sangat terbatas. Karena faktor waktu penelitian kami hanya lima hari,” tuturnya.

Tidak hanya terkait dialek, 21 bahasa ibu yang tercatat berdasarkan data tahun 2008. diyakini Asrif telah ada penambahan, karena ada proses 11 tahun hingga tahun 2023, hanya saja belum diperbaharui dalam peta bahasa nasional.

Karenanya, Asrif mengatakan bahwa pihaknya akan menginformasikan nanti berapa jumlah bahasa daerah pribumi yang asli, dan berapa bahasa yang ada warganya tetapi bahasanya dari provinsi yang lain.

“Kami akan kembali meng-update supaya masyarakat tercerahkan. Misalnya bahasa daerah di Sulawesi Tengah yang asli sekian, bahasa pendatang sekian yang tumbuh dan berkembang di Sulawesi Tengah,” ujarnya.

Asrif menjelaskan, 21 bahasa daerah tersebut termasuk bahasa-bahasa pendatang yang merekat tumbuh dan memiliki komunitas di provinsi. Karena dari pemetaan, jika penutur bahasa pendatang itu punya komunitas, misalnya Bugis, Jawa, Bali, maka bahasa itu akan tumbuh di daerah tersebut.

Tetapi, kata dia, dalam perhitungan total, dihitung satu untuk semua wilayah, misalnya Bahasa Jawa di Indonesia dihitung satu, begitu juga bahasa Bugis. Oleh karenanya, jumlah bahasa daerah asli di Sulteng tidak sampai 20.

“Bahasa Jawa, jangan dihitung di sini, dihitung di Pulau Jawa. Kalau dihitung di semua provinsi, lama-lama bahasa Jawa ada 100. Bahasa Makassar juga akan dihitung satu di Sulawesi Selatan. Begitu juga bahasa Bajo. Tetapi Bahasa Bajo memiliki perbedaan. Bahasa Bajo tidak termasuk bahasa pendatang, karena mereka penduduk asli,” terangnya.

Sebagai orang yang dekat dengan Suku Bajo, Asrif selalu mengatakan kepada siapapun bahwa Bajo adalah bahasa, bukan pendatang. Sebab di mana ada laut, itulah kampung orang Bajo. Justru orang daratan yang datang ke pantai. Karena zaman dulu, semua orang pribumi bermukim di gunung. Di Poso misalnya, mereka tinggal di puncak Bada.

Berdasarkan penelitiannya, dan sebagai orang yang hidup bertetangga dengan orang Bajo, Asrif tahu persis bahwa kampungnya berada di gunung, dan yang menguasai laut adalah orang Bajo. Maka Bajo sulit dikatakan sebagai pendatang.

Namun demikian, orang Bajo berasal dari berbagai provinsi, bahkan negara. Ada dari Philipina, Malaysia, Manado, Gorontalo, Sulteng, Sulawesi Tenggara, sampai ke Flores, NTT.

Bahkan, lanjut Asrif, garis lurus sampai ke Jawa Timur, Madura (karena pengaruh dari Makassar), juga ada Bajo. Tetapi dalam perhitungan nasional, Bahasa Bajo sama dengan Bahasa Jawa, dihitung satu.

“Karena sejatinya pemilik laut adalah orang Bajo, bukan kita. Kita ini orang gunung, nanti aman republik ini baru kita turun ke pantai. Itu mengapa Bahasa Bajo ditempatkan pada bahasa yang setara di seluruh provinsi. Berbeda dengan Bali misalnya yang kita tahu tahun berapa mereka datang. Tapi Bajo memang dari masa lampau sudah berada di situ. Teluk Palu ini teluknya orang Bajo. Karena di mana ada teluk di kawasan itu, pasti ditempati orang Bajo,” jelas Asrif yang memiliki Bahasa Ibu Wakatobi.

Reporter : Iker
Editor : Rifay