Moh. Ahlis Dirimu*
Ahli Ekonomi Pembangunan, Michael P. Todaro dan Stephen J. Smith (2014), menyataan bahwa sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. Pengalaman pada dekade tersebut menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi gagal memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Lalu pada Tahun 1991, Bank Dunia menerbitkan laporannya yang menegaskan bahwa “tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan”. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional (World Development Report, 1991).
Konsep pembangunan manusia muncul untuk memperbaiki kelemahan konsep pertumbuhan ekonomi karena selain memperhitungkan aspek pendapatan juga memperhitungkan aspek kesehatan dan pendidikan. Hal ini sekaligus mengoreksi mereka yang berpaham pertumbuhan ekonomi sebagai panglima pembangunan (growth oriented) bertransformasi menjadi pertumbuhan berkeadilan atau Equity for Growth. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan, bukan hanya alat dari pembangunan. Tujuan utama pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan rakyat untuk menikmati umur panjang, sehat, dan menjalankan kehidupan yang produktif (United Nations Development Programme – UNDP).
Pembangunan manusia didefinisikan sebagai proses perluasan pilihan bagi penduduk. IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Hasil pembangunan ini dapat berada pada jalur yang tepat sesuai indikator dalam Bab VIII RPJMD, sekaligus mengkoreksi apabila berada di luar jalur agar kembali ke trajectoire du développement. IPM pertama kali diperkenalkan oleh UNDP pada Tahun 1990 dan dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report (HDR).
IPM dibentuk oleh 3 (tiga) dimensi dasar. Dimensi pertama adalah kesehatan, yang ditandai dengan umur Panjang dan hidup sehat (a long and healthy life). Parameternya adalah Usia Harapan Hidup dalam satuan tahun. Dimensi kedua adalah Pengetahuan (knowledge) yang ditunjukkan oleh dua indikator Pendidikan yaitu Harapan Rata-Rata Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dalam satuan tahun. Dimensi ketiga, adalah Standar hidup layak (decent standard of living) yang ditunjukkan oleh kesamaan daya beli masyarakat atau purchasing power parity (PPP) yakni kemampuan pendapatan masyarakat dalam satuan rupiah yang dapat dibelanjakan pada barang. PPP ini akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan, tetapi akan tergerus apabila terjadi kenaikan harga-harga terutama yang didorong oleh inflasi inti (core inflation).
IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah/negara. Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja Pemerintah, IPM juga digunakan sebagai satu dari beberapa alokator penentuan Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan memasukkan Rata-rata Lama Sekolah dan angka Harapan Lama Sekolah, dapat diperoleh gambaran yang lebih relevan dalam pendidikan dan perubahan yang terjadi. Dengan menggunakan rata-rata geometrik dalam menyusun IPM dapat diartikan bahwa capaian satu dimensi tidak dapat ditutupi oleh capaian pada dimensi lain. Artinya, untuk mewujudkan pembangunan manusia yang baik, ketiga dimensi harus memperoleh perhatian yang sama besar karena sama pentingnya. Adanya IPM mendorong munculnya IPM secara terpilah IPM laki-laki dan IPM perempuan. Hal inilah yang disebut sebagai Indeks Pembangunan Gender (IPG).
Selama Tahun 2021-2022, dalam konteks Kinerja Pembangunan Manusia di Sulteng, IPM Sulteng meningkat dari 69,79 poin pada 2021 menjadi 70,28 poin pada 2022 atau meningkat 0,7 point. Capaian ini merupakan investasi Sumberdaya Manusia bertahun-tahun yang baru dinikmati saati ini atau dalam istilah ekonomi time lag atau jedah kelambanan. IPM Sulteng berada pada kategori “tinggi” atau pada interval sama dengan 70 poin sampai dengan di bawah 80 poin, tetapi bila dibedah lebih jauh IPM ini belum inklusif atau semu. Alasannya, dari tiga komponen pembentuk IPM ini, dikategorikan “tinggi” karena didorong oleh Dimensi Ketiga yaitu pengeluaran perkapita yang disesuaikan (purchasing power parity, PPP) yang meningkat dari Rp9,38,- juta pada 2021 menjadi Rp9,70,- juta pada Tahun 2022. PPP yang meningkat ini justru disumbangkan oleh daerah kaya di Sulteng yakni sektor pertambangan dan penggalian di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara yang menyebabkan rata-rata pendapatan perkapita Kabupaten Morowali mencapai Rp588,29 juta pert tahun atau Rp49,02,- juta per bulan dan pendapatan perkapita Kabupaten Morowali Utara mencapai Rp107,06,- juta atau rata-rata Rp8,92,- juta per bulan. Lalu pendapatan perkapita ini dikonversi dengan daya beli penduduk menjadi PPP. Tingginya PPP sebenarnya dominan dinikmati oleh pemilik modal dan minim menciptakan lapangan kerja karena sifatnya padat modal. Hal ini beralasan karena Sulteng mengalami apa yang disebut sebagai Paradoks Okun, untuk menghormati penemunya, Marcus Melvin Okun yakni kaitan antara Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dengan pengangguran rendah. Hukum Okun menjelaskan, sepatutnya, laju pertumbuhan ekonomi Sulteng yang tinggi, dibarengi oleh pengangguran yang rendah. Namun, hal ini tidak tercipta karena dasar ekonomi Sulteng adalah industri logam dasar yang Padat Modal, minim penyerapan lapangan kerja.
Sedangkan pembentuk lainnya Dimensi kesehatan yaitu dimensi Umur Panjang dan Hidup Sehat meningkat 0,1 tahun dari 68,83 tahun pada 2021 menjadi 68,93 tahun pada 2022. Pada Dimensi pengetahuan mencakup Harapan Rata-Rata Lama Sekolah (HLS) meningkat dari 13,23 tahun pada 2021 menjadi 13,32 tahun pada 2022 atau meningkat absolut sebesar 0,09 tahun. Sedangkan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) tidak mengalami peningkatan atau tetap pada angka 8,89 tahun mencerminkan bahwa walaupun anggaran pendidikan Pemerintah Provinsi Sulteng setiap tahunnya di atas Rp450,- miliar, bahkan pada Tahun 2023 mencapai Rp489,- miliar, menjadi mubazir belum mampu mendorong peningkatan dimensi pengetahuan yang tercermin dari angka RLS mencapai 8,89 tahun setara dengan tingkat Pendidikan kelas II SMP/MTs menuju kelas III SMP/MTs. Lalu di mana peran Provinsi Sulteng dalam mendorong tingkat Pendidikan SMA/MA/SMK jika rerata Pendidikan penduduk hanya sampai kelas II SMP? Jawabannya, melakukan perluasan dan peningkatan mutu SMA/MA/SMK baik penambahan ruang kelas baru (RKB), tambahan laboratorium, maupun pelatihan Kepala Sekolah, kualifikasi guru ke jenjang S2 atau S3, serta subsidi guru di daerah terpencil dan terluar, melakukan penelusuran dan menyekolahkan kembali anak usia SMA yang putus sekolah karena alasan ekonomi, serta beasiswa.
Kinerja IPM ini bukan hanya prestasi satu daerah. Di sinilah letaknya penciptaan Sulteng Incorporated atau saling kolaboratif 13 kabupaten/kota dan provinsi, sehingga tidak terjadi claim parsial. Pada indikator IPM, Pemerintah Provinsi Sulteng patut berterima kasih pada enam daerah yang kenaikan relatif IPMnya di atas kenaikan relatif IPM Sulteng yang hanya meningkat 0,70 poin. Keenam daerah tersebut yakni Kabupaten Tojo Una-Una, Banggai Laut, Sigi, Donggala, serta Banggai Kepulauan dan Morowali Utara yang berturut-turut kenaikan IPM dari yang tertinggi hingga terendah masing-masing 1,24 poin, 0,87 poin, 0,82 poin, 0,81 poin, serta masing-masing 0,72 poin. Kabupaten Tojo Una-Una berkontribusi positif pada Sulteng pada dimensi PPP tertinggi yakni kenaikan mencapai Rp475,- ribu diikuti oleh Parigi Moutong sebesar kenaikan Rp388,- ribu dan Poso Rp368,- ribu. Pada dimensi pengetahuan, di saat RLS empat daerah stagnan yakni Donggala, Tolitoli, Buol dan Banggai Laut, sekali lagi Sulteng patut berterima kasih pada Tojo Una-Una dan Parigi Moutong memberikan kontribusi kenaikan RLS tertinggi masing-masing 0,03 poin. Pada komponen HLS, Pemerintah Provinsi Sulteng patut berterima kasih pada Kabupaten Banggai, Sigi dan Donggala karena memberikan kenaikan tertinggi masing-masing 0,09 poin pada Sulteng. Pada dimensi sehat dan hidup lama, Provinsi Sulteng patut berterima kasih pada Kabupaten Buol yang kenaikan angka Usia Harapan Hidupnya (UHH) tertinggi mencapai 0,27 tahun, diikuti oleh Kabupaten Tolitoli sebesar 0,23 tahun dan Tojo Una-Una sebesar 0,18 tahun. Sedangkan daerah lain seperti Banggai, Morowali, Poso, Parigi Moutong, UHHnya tidak mengalami kenaikan. Sebaliknya, Pemerintah Sulteng menfokuskan pula memperhatikan 7 daerah yang capaian IPMnya berada di bawah capaian IPM Sulteng, mendeteksi akar masalah ketiga dimensi IPM.
Stagnasi RLS pada angka 8,89 tahun baik pada 2021 maupun pada 2022 membutuhkan solusi tepat dalam berbagi peran di bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Perluasan dan peningkatan mutu layanan kesehatan baik melalui peningkatan status pustu menjadi puskesmas, puskesmas rawat jalan menjadi puskesmas rawat inap dengan melengkapi lima syarat ketersediaan dokter spesialis, inisiatif pembangunan rumah sakit milik Pemerintah Pusat di wilayah pantai barat dan di wilayah pantai timur Sulteng dapat dilakukan mengingat, Provinsi Maluku Utara yang berusia muda saja sudah mempunyai rumah sakit milik Pemerintah Pusat sebagai antisipasi datangnya bencana alam maupun non alam di wilayah “supermarket bencana” di daratan Sulawesi.
*Associate Professor FEB-Untad