Laporan: Ikerniaty Sandili

ADA beberapa versi jika bercerita tentang asal-muasal burung Maleo dan tradisi Malabot Tumbe. Seperti di atas panggung Festival Tumbe pada lomba banunut (berdongeng), Jum’at hingga Sabtu, 2 – 3 Desember lalu, sebagian besar peserta lomba mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA, mengambil ide cerita tentang Maleo, dan selalu berbeda-beda. Lantas manakah yang benar? Saya berpikir, bisa saja semua cerita itu ada benarnya jika para tetua bisa duduk bersama, mendengarkan versi masing-masing dan mencoba menarik benang merah. Bisa saja semua cerita itu terjadi, tetapi waktu peristiwa itu yang berbeda.

Ketika berkunjung pada beberapa orang yang saya jadikan narasumber, masing-masing mengklaim cerita mereka paling kredibel karena mereka dapatkan secara turun-temurun. Meski masing-masing tidak menyalahkan pihak lain atas cerita yang berbeda dengan versi mereka.

Sinopsis yang saya peroleh dari Lembaga Masyarakat Adat Banggai Batomundoan (LMABB) dalam hal ini diberikan Djamil Hamid (Hukum Tua), ketika saya menyambanginya, Kamis, 8 Desember. Dia menerangkan upacara tumpe sendiri berawal dari Adi Cokro yang mendapat hadiah dari mertuanya Raja Matindok, Ali Asine, bapak dari Nur Sapa, berupa sepasang burung maleo untuk dibawa ke Banggai (Banggai Laut). Sekembalinya Adi Soko ke Banggai, Nur Sapa ditempatkan di Padang Laya, lalu Adi Soko menikah lagi dengan Putri Raja dari empat kerajaan kecil di Banggai, dari hasil perkawinan tersebut, lahirlah Putri Saleh. Selanjutnya Adi Soko kembali ke Jawa, bersama anaknya Putri Saleh