PALU – Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Palu, Ibnu Mundzir menjadi narasumber Latihan Kepemimpinan Pemerintahan (LKP) XV, di Aula Universitas Tadulako (Untad) Palu, Sabtu (15/10).

Kegiatan yang diinisiasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintah tersebut diikuti 51 mahasiswa baru dari Program Studi Ilmu Pemerintahan, Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untad.

Dalam kesempatan ituz Sekretaris Bappeda, Ibnu Mundzir menyampaikan materi tentang “Collaborative Government : Sasaran dan Strategi dalam Pembangunan Daerah (Kasus Kota Palu).”

Secara garis besar, Ia mengatakan siklus kesenjangan pembangunan kota yang terdiri dari kesenjangan pengetahuan, kesenjangan kemampuan, kesenjangan kesempatan, kesenjangan aset, kesenjangan spasial, kesenjangan sosial, dan kesenjangan informasi.

Menurutnya, kesenjangan ekonomi yang begitu mencolok, kecemburuan sosial, rasa tidak berdaya, tertekan, sampai batas toleransi, terlampaui akhirnya menyebabkan ledakan ketidakpuasan.

“Di Indonesia sendiri, saat ini diperkirakan 41% penduduk tinggal di perkotaan. Khusus wilayah Jawa – Bali 53% penduduk berada di perkotaan. Tahun 2025 diperkirakan 65% penduduk akan menghuni perkotaan terutama di 16 kota besar yang ada di Indonesia,” paparnya.

Ia menyatakan akar masalah perkotaan satu diantaranya kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan perkotaan atau Collaborative Government.

Penataan kawasan tanpa pelibatan masyarakat, katanya ibarat menabur garam di lautan. Karena warga pemilik kawasan (legal atau ilegal), warga kontributor kekumuhan, dan warga harus ditempatkan sebagai aktor utama yang bertanggungjawab untuk penataan kawasannya.

“Alur pikir pendekatan menuju kolaborasi multi stakholder yakni jangan pernah bekerja sendiri. Tidak boleh sama-sama bekerja, tapi bekerja bersama-sama,” katanya.

Hal tersebut, lanjut dia, dapat dimulai dengan membangun jejaring antara pemerintah kota/kabupaten dan masyarakat.

Kemudian, lanjut dia, tidak sekadar membuat perencanaan, tapi bagaimana agar masyarakat menjadi aktor utama dalam penyusunan perencanaan tersebut.

Selain itu, membangun kawasan bukan sekedar membangun fisik tapi membangun manusia. Sehingga penataan kawasan bukan hanya pendekatan fisik semata tapi harus pendekatan kemanusiaan.

“Masyarakat itu berubah karena tiga hal yaitu struktur, kultur, dan proses sosial dalam setiap proses pengambilan keputusan,” imbuhnya.

Reporter : Hamid/Editor : Rifay