OLEH : Viky Eka Indrajaya, SST*

Riuh polemik Covid-19 beberapa waktu lalu kian meredup. Kini kenaikan harga BBM yang naik panggung. Dampak yang diterima masyarakat tidak jauh berbeda. Jika kemarin masyarakat sulit untuk mencari nafkah, kini teror inflasi membuat mereka semakin sulit berbelanja.

Bagi pemerintah, kondisinya memang dilematis; Satu sisi pemerintah dihadapkan pada dinamika harga minyak mentah acuan yang cenderung naik, di sisi lain kesejahteraan masyarakat terancam kian tergerus.

Lebih rinci, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, harga keekonomian BBM subsidi masih relatif jauh dibandingkan harga yang ditetapkan pemerintah saat ini. Solar dengan harga Rp. 6.800 per liter, harga ekonominya adalah Rp. 13.950. Adapun harga Pertalite saat ini menyentuh Rp. 10.000 per liter, padahal harga ekonominya sebesar Rp. 14.450.

Artinya pemerintah tetap menggelontorkan subsidi sebesar Rp. 7.150 per liter untuk solar dan sebesar Rp. 4.450 per liter untuk pertalite.

Jika direnungkan sumber masalahnya masih sama, yakni ketergantungan terhadap BBM.

Bagi masyarakat Indonesia, BBM tak terganti. Ketersediannya mutlak diperlukan oleh berbagai jenis lapisan masyarakat denganĀ  beragam peruntukan.

Mendukung pernyataan tersebut, Hendry Ahmad, seorang anggota Komite Badan Penyalur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menyatakan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap BBM mencapai 85 persen. 15 persen sisanya berasal dari energi terbarukan.

Berkaca pada fakta tersebut, dapat disimpulkan, jalan keluar satu-satunya adalah dengan memutus rantai ketergantungan terhadap BBM.

Bukan Tidak Mungkin

Diskusi terkait bahan bakar alternatif di Indonesia sudah sering terdengar. Tidak sebatas diskusi, bahkan sampai aksi. Hanya saja belum maksimal dan belum menjadi prioritas utama.

Salah satu bahan bakar alternatif yang bisa dikembangkan di Indonesia adalah Bahan Bakar Nabati (BBN).

Beralih ke BBN adalah solusi masuk akal, mengingat potensi yang dimiliki Indonesia. Setidaknya tersimpan dua potensi besar yang bisa digali.

Pertama, potensi lahan. Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia.

Berdasarkan hasil kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada tahun 2017, sepertiga dari total luas daratan Indonesia sesuai digunakan untuk pertanian. Luasnya mencapai 94 Juta hektar.

Dari jumlah tersebut baru 26 persen atau 25,11 juta hektar yang telah dimanfaatkan.

Disadur dari Publikasi Statistik Minyak dan Gas Bumi yang di buat oleh Kementrian ESDM, konsumsi BBM Indonesia rata-rata meningkat 9,24 persen per tahun periode 2016-2019 hingga volumenya mencapai 74 juta KL di tahun 2019.

Dari jumlah konsumsi tersebut, pada tahun 2018 industri BBN di Indonesia mampu menghasilkan 12 juta KL biodiesel. Volume tersebut hasil dari sekitar seperempat lahan pertanian yang suda terolah. Itu pun masih terbagi dengan kebutuhan pangan.

Bayangkan jika 94 juta hektar lahan di Indonesia bisa dimanfaatkan? Bukan hanya mandiri energi, bahkan kita bisa menjadi eksportir BBN yang kuat di dunia.

Kedua, potensi jumlah petani yang melimpah. Pertanian merupakan mata pencaharian utama masyarakat. Tercatat, petani Indonesia berjumlah 33,4 juta jiwa (BPS,2019).

Pada tahun 2022, sektor pertanian menyerap hingga 29,96 persen penduduk usia kerja (BPS, 2022).

Dari jumlah tersebut, petani yang menanam komoditas bahan baku BBN memang masih sedikit.

Kelapa sawit misalnya, hanya berjumlah 2,7 juta jiwa atau hanya 8 persen dari total jumlah petani (Kementrian Pertanian). Namun petani dengan berbagai jenis subsektornya bisa saja turut andil jika ada himbauan serta edukasi yang tepat dari pemerintah. Terlebih banyak petani yang sebetulnya mengusahakan bahan baku BBN.

Karena minimnya informasi, alhasil produknya terbengkalai. Hanya dibiarkan membusuk di atas tanah, hanya menjadi sampah, dan lain sebagainya.

Perlu diingat, potensi baru sebatas potensi. Hasilnya bisa diperoleh ketika dikelola dengan maksimal.

Upaya Indonesia untuk bisa mencapai status mandiri energi dihadapkan pada beberapa permasalahan yang perlu dipelajari dan dicari solusinya.

Masalah pertama, pola pikir petani Indonesia yang salah kaprah. Sudah bukan rahasia, gambaran pertanian identik dengan kemiskinan, kotor, kumuh, dan tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Sehingga banyak petani yang tidak ingin anaknya menjadi petani. Terkesan, pertanian adalah sektor lapangan pekerjaan yang harus ditinggalkan.

Mengantisipasi hal tersebut, pemerintah harus hadir. Modernisasi pertanian harus dilakukan secara masif.

Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu mensosialisasikan dengan baik terkait besarnya potensi BBN. Kemudian menciptakan alur pemasaran produk pertanian yang jelas agar petani tidak pusing kemana produknya dijual pasca panen. Sehingga wajah pertanian yang kekinian dan menjanjikan segera bisa dilihat oleh generasi muda. Dengannya, minat mereka akan muncul.

Mewujudkan hal tersebut, pemerintah perlu menyusun program yang tepat guna. Untuk bisa tepat guna tentu butuh dasar. Bak seorang petualang hutan rimba, membutuhkan kompas dan peta untuk menentukan arah perjalanan. Ya, dasar tersebut adalah data yang berkualitas.

Momentum mengubah wajah pertanian kita di mata generasi muda dimulai dengan memperbaiki kualitas data pertanian. Kesempatan ini akan kita hadapi pada gelaran Sensus Pertanian tahun 2023 mendatang.

Kesuksesan gelaran akbar ini diharapkan menjadi pijakan awal pemerintah merubah pola pikir petani, bahkan seluruh masyarakat Indonesia, terutama generasi muda.

Kedua, pola pengembangan petani Indonesia masih mengadopsi petani rakyat.

Model pertanian yang bercirikan penggunaan modal yang kecil; sistem pengelolaan lahan dengan cara tradisional dan sederhana; cenderung hanya menanam tanaman pangan; dan tidak adanya sistem administrasi yang baik ini cenderung sulit beradaptasi.

Alih-alih menelan program mengejar status mandiri energi dari pemerintah, yang menjadi fokus mereka adalah apa yang mereka akan makan hari ini.

Kecenderungan petani rakyat adalah menanam komoditas yang telah disiapkan bantuan sebelumnya.

Hari ini ada subsidi untuk jagung, mereka akan menanam jagung. Hari ini ada subsidi padi, mereka tanam padi. Begitu seterusnya.

Jika demikian, sebaik apa pun program yang disiapkan pemerintah hasilnya akan tetap nihil.

Ke depan, fungsi POKTAN/GAPOKTAN perlu lebih dimaksimalkan. Setiap ketua kelompok harus diberikan pelatihan khusus.

Harapannya bisa menjadi penggerak anggota kelompoknya masing-masing. Agar POKTAN/GAPOKTAN berjalan konsisten, perlu dibangun sistem yang lebih baik untuk meminimalisir ketua kelompok bergerak hanya untuk kepentingan pribadinya.

Upaya yang tersebutkan di atas sebetulnya merupakan jalan panjang yang diharapkan bisa menjadi solusi untuk melepas ketergantungan kita terhadap BBM.

Walaupun demikian, pola pikir harus sesegera mungkin dibangun. Aksi nyata harus sesegera mungkin dilakukan. Jika tidak, entah kapan kita bisa memperoleh predikat mandiri energi.

Dalam jangka pendek, suka tidak suka pemerintah harus berjibaku mengatasi fluktuasi harga minyak mentah dunia, juga inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM, dan membuat subsidi BBM menjadi lebih tepat sasaran.

Sebagai rakyat, saya memahami langkah-langkah pemerintah merupakan langkah sulit yang harus diambil sekaligus saya sampaikan ucapan terima kasih atas kerja keras yang sudah dilakukan.

Semoga, pemimpin-pemimpin kita selalu diberikan kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Aamin.

*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Buol