PALU – Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulawesi Tengah (Sulteng) mempertanyakan pernyataan, Ridha Saleh  Tenaga Ahli (TA) Gubernur Sulteng, Ridha Saleh yang sekaligus anggota tim Pemprov Sulteng dalam penyelesaikan konflik agraria antara petani Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut) dengan Agro Nusa Abadi (ANA).

Berdasarkan penyampaian, Ridha Saleh ada tiga point kesepakatan penyelesaian konflik agraria yang diputuskan di daerah tersebut.

Pertama, PT ANA diminta segera mengurus izin Hak Guna Usaha (HGU) dalam menjalankan bisnis perkebunan sawitnya di Kabupaten Morowali Utara dengan catatan dalam rentang waktu proses pengurusan izin HGU, PT ANA diharap menyelesaikan sengketa lahannya dengan masyarakat.

Kedua, dari 7.000 hektar luasan lahan yang dikuasai PT ANA sekarang ini, sekitar 1.000 hektar akan dilepaskan oleh perusahaan. Jangan dimasukan dalam pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU).

Dan yang ketiga, BPN diminta memberi advis  terhadap data kepemilikan yang dimasukan oleh desa di Kecamatan Petasia Timur, terhadap lahan 1.000 hektar yang akan dilepaskan PT ANA.

Hal itu pun mendapat reaksi keras dari Koordinator FRAS, Eva Bande. Menurutnya, tiga point kesepakatan itu diambil sepihak dan tidak melibatkan para petani.

“Jika ada kesepakatan wajib hukumnya melibatkan petani. FRAS menanyakan kesepakatan dengan siapa dibangun itu?,” tanya Eva Bande, Selasa (13/09).

Kata Eva, pendamping dan masyarakat hanya dilibatkan dalam pertemuan hari pertama dan tanpa sama sekali ada kesepakatan. Hari kedua pihak masyarakat tidak dilibatkan dalam forum pertemuan dengan pihak perusahaan.

Terkait salah satu poin kesepakatan yang disebutkan oleh Ridha Saleh bahwa PT ANA diberikan kesempatan untuk mengurus HGU. Eva menilai, bagi petani telah menunjukkan lemahnya posisi pemerintah dalam menghadapi perusahaan.

Dia menekankan, bagi FRAS, berdasarkan fakta PT ANA tidak memiliki HGU sejak mulai beroperasi tahun 2006, itu berarti 15 tahun pemerintah dan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa selain limbah busuk sawit.

“Pemerintah telah kehilangan potensi pendapatan daerah dari berbagai macam jenis pungutan yang bisa ditarik, artinya ada potensial lost di sana,” ucap Eva.

Kemudian, lanjut Eva, jika memang ada keseriusan dari PT ANA untuk melegalkan aktivitasnya. Maka dokumen itu akan mereka urus sejak jauh-jauh hari.

“Kami menduga bahwa ini memang disengaja agar perusahaan tidak mengeluarkan biaya untuk membayar pajak, dan berbagai bentuk PAD lainnya kepada negara,” tegas Eva.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut,  Eva menyarankan, seharusnya pemerintah mengambil langkah tegas terhadap PT ANA. Petani telah menunjukkan solusi terbaik di setiap aksi lapangan dan rapat dengan pemerintah,  yakni kembalikan tanah petani.

“Ini solusi sederhana yang dapat mengobati sakit hati rakyat Morut selama puluhan tahun diabaikan pemerintah, dan dirampas haknya oleh PT ANA,” gerutu Eva.

“Pemerintah juga harus menjawab mengapa tidak ada sanksi terhadap perusahaan illegal itu? Mengapa petani seperti Gusman dan Sudirman yang harus merasakan dinginnya lantai penjara, padahal mereka memperjuangkan tanah mereka sendiri?,” tanya Eva menutup. (YAMIN)