PALU- Forum Umat Islam (FUI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menimbulkan kegaduhan dan keresahan di tengah masyarakat.
Kegaduhan dan keresahan itu akibat dari pernyataan kepala BNPT Komjen Pol.Boy Rafli Amar yang menyampaikan ada 198 pondok pesantren diidentifikasi, terafiliasi pada jaringan Terorisme pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI.
“Ini membuat satu dan lainnya saling curiga, bahkan lembaga tertua pondok pesantren sudah menjadi bahan bulan-bulanan,” kata Presidium FUI Sulteng, ustad Hartono pada konferensi pers di Sekretariat Bersama AJI Palu, Kota Palu, Senin, (31/1).
Ini kata dia, sangat disayangkan dan MUI melalui KH. Kholil Nafis memberikan sanggahan keras dan mempertanyakan dasar dan metode apa dipakai BNPT dalam menentukan pesantren-pesantren itu terafiliasi jaringan terorisme.
Seharusnya, langkah diambil BNPT menurutnya, kerja sama dengan MUI melakukan pencegahan, jika memang sekiranya ada pondok pesantren memiliki bibit-bibit radikalisme.
“Bukan dengan serampangan dan menyampaikannya ke publik,” kesalnya.
Dan berlanjut kemudian ujarnya, ada wacana memetakan masjid, juga dalam rangka kaitannya adanya tuduhan bahwa masjid-masjid itu menjadi basis pembibitan dan kader teroris.
Ia mengatakan, walaupun pihaknya bukan bagian dari pondok-pondok pesantren yang dituduhkan sebagai umat Islam punya keprihatinan.
“Kelihatannya Indonesia bukan lagi negara hukum tapi negara berdasarkan instruksi dan perintah,” sebutnya.
Olehnya nya pihaknya berharap agar BNPT dievaluasi, bahkan meminta untuk dibubarkan. Dalam waktu dekat ini pihaknya akan, menyampaikan ke DPR provinsi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tadulako (Untad), Harun Nyak Itam Abu mengatakan, yang disampaikan BNPT itu tidak lebih dari hanya pengalihan isu, sebab ada isu besar.
“Isu itu adalah kegagalan ekonomi Indonesia yang terpuruk hari ini, dua anak lurah yang dilaporkan ke KPK, proyek-proyek terkait covid-19 dan isu utang negara sudah besar, tidak mampu dibayar Indonesia,” beber koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Sulteng ini.
Sehingga menurutnya lagi, pengalihan isu paling keras dan laku itu, radikalisme dan terorisme. Sebab di negara yang berdasarkan Pancasila dan ketuhanan yang Maha esa, aneh kalau orang beragama dijadikan sasaran tembak.
“Apa disampaikan BNPT itu, celana tua, tegasnya, isu radikalisme dan terorisme adalah upaya pengalihan terhadap kegagalan negara dan penguasa dalam mengelola segala hal terkait berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.
Ustad Ali Firdaus, pelabelan BNPT terhadap 198 pondok pesantren, ini benar-benar membelah umat dan sangat fatal.
Menurutnya, umat Islam sendiri sudah dewasa dalam menyikapi perbedaan khilafiyah dan furuiyah.
“Itu sudah selesai kita anggap tasamuh, dalam urusan tersebut,” ucapnya.
Ia menilai, pembelahan ini merupakan episode baru, lanjutan, sebab umat Islam dibelah dengan apapun sudah bisa beradaptasi serta berukhuwah. Maka digunakanlah cara ini, pesantren dilabel sedemikian rupa, yang ini menjadi musuh besar negara.
Olehnya imbuhnya, definisi teroris diluruskan kembali, kenapa 198 itu pesantren, bukan tempat agama lain. Apakah BNPT itu hanya diberikan amanah tugas dan mandat untuk obok-obok pesantren, bukan lainnya.
“Apakah teroris yang digaungkan itu hanyalah kami umat Islam, bukan lainnya,” tanya pengasuh pondok Husnayain ini.
Maka dia menegaskan, kalau FUI menyatakan sikap membubarkan BNPT bukan sesuatu yang sifatnya berlebihan, tapi sesuai fakta dan realita.
“Karena selama ini teroris itu hanya diberikan dan label pada umat Islam dan simbol-simbol Islam,” menyudahi.
Andi Akbar Panguriseng, meminta agar BNPT membuka kepada publik apa menjadi dasar pelabelan tersebut, tidak menggiring opini publik.
Reporter: Ikram/Nurdiansyah
Editor: Nurdiansyah

