OLEH: Viky Eka Indrajaya*
Awalnya saya pikir de javu, ternyata bukan. Frasa “kasus pertama” memang nyata kembali kita dengar untuk kali ketiga. Belum lama kita melewati proses mengakrabkan diri dengan delta, sekarang kita sudah dituntut untuk mewaspadai turunan terbaru Covid-19 yang dinamakan Omicron oleh WHO. Hingga Senin 3 Januari 2022, sudah ada 152 kasus positif yang terdeteksi oleh Kemenkes. Sebagai sebuah varian baru, Omicron diyakini lebih cepat tingkat penularannya dibandingkan delta. Sehingga para ahli memprediksi jumlah tersebut mirip dengan fenomena gunung es. Yang terlihat hanya bagian puncaknya, yang tidak terdeteksi jumlahnya justru lebih banyak lagi.
Sebelum Omicron masuk, saya sempat optimistis akan segera beristirahat dari pahitnya pandemi. Lantaran banyaknya kabar positif terkait penanganan delta di Indonesia yang hampir setiap hari saya dengar. Namun dengan cepat alur cerita berubah. Sejenak saya menghela napas panjang sambil diikuti sebuah pertanyaan klise tentang kapan pandemi ini akan usai. Ketidakpastian jawaban dari pertanyaan itu mendorong saya untuk mengkambinghitamkan Covid-19 dengan semua jenis variannya. Tetapi jika direnungkan kembali, pada renungan pertama saya sadar hal tersebut tidak menyelesaikan masalah.
Pada renungan kedua saya mulai berpikir jangan-jangan kita sendiri yang memelihara pandemi ini? Anda boleh tidak sependapat, tetapi jika kita pelajari dengan seksama tentang bagaimana Covid-19 menyebar dan langkah-langkah pencegahannya, maka akan anda temukan bahwa faktanya memang demikian.
Persoalannya bukan kita dengan senang hati untuk sakit atau secara sengaja menularkan penyakit ke orang lain. Tetapi lebih kepada mispersepsi masyarakat terkait penanggulangan pandemi. Terkesan bahwa mereka dipersulit untuk menjalani hidup, padahal hakikatnya himbauan tersebut hanya menghasung kita untuk melakukan beberapa penyesuaian terkait kebiasaan sehari-hari. Ya, sesederhana itu.
Status manusia sebagai homo sosial membuat hal sederhana ini menjadi rumit. Kodrat untuk berinteraksi sosial dengan pola budaya yang sudah baku menjadikan banyak orang enggan untuk berubah. Kemudian menganggap himbauan terkait adaptasi kebiasaan baru adalah hal aneh dan tidak masuk akal. Terlebih prinsip 3 M dianggap memiliki pertentangan dengan nilai kesopanan yang ada dalam sistem sosial yang kita anut. Situasi ini diperparah dengan banyaknya berita seputar pandemi yang tidak mampu dipilah dengan baik oleh masyarakat. Alhasil banyak berita hoax yang ditelan mentah-mentah. Dampaknya, semakin banyak yang antipati. Apa itu Covid-19? Konspirasi! Kalau waktunya mati ya mati! Jangan sampai kamu di Covidkan! Dan masih banyak ungkapan lainnya.
Evaluasi penerapan 3 M di Indonesia dapat kita peroleh gambarannya dari penelitian yang dilakukan oleh BPS dalam publikasinya yang berjudul “Perilaku Masyarakat Pada Masa PPKM Darurat”. Pertama jumlah responden yang mengaku belum patuh terhadap himbauan penggunaan masker dengan benar mencapai 45,5 persen, kemudian 25,2 persen belum patuh untuk cuci tangan dengan sabun/sanitizer dan 33,3 persen belum patuh terhadap himbauan jaga jarak. Potret tersebut cukup menghawatirkan mengingat umur pandemi di Indonesia hampir mencapai 2 tahun. Ekspektasi saya terhadap saudara sespesies saya di tanah air seharusnya mampu dengan cepat berubah menyesuaikan kondisi yang terjadi saat ini. Tetapi nyatanya belum demikian.
Padahal sebagai mahluk hidup, perubahan merupakan suatu keniscayaan yang tidak mungkin bisa dihindari. Tanpa disadari, manusia sudah melewati banyak fase perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Mulai dari tidak ada HP, sekarang ada HP dengan berbagai jenisnya. Sampai keberadaan beragam jenis alat transportasi yang mungkin tidak terpikirkan kemunculannya oleh orang terdahulu. Begitu seterusnya roda perubahan akan terus bergulir. Dalam prinsip perubahan, siapa yang bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang ada, dia yang bertahan. Siapa yang tidak mampu, dia akan tersisih. Bukan siapa yang kuat siapa yang lemah. Dinosaurus misalnya yang kita semua sepakat merupakan mahluk yang kuat, namun dimana keberadaannya sekarang? Akhirnya punah juga.
Dari pandemi ini pula kita bisa belajar sisi lain manusia yang bisa berubah intoleran dan cenderung antipati terhadap suatu musibah ketika memiliki perbedaan pandangan sains. Rousseau mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia bersifat baik. Hal tersebut dapat kita lihat melalui bantuan yang mereka berikan ketika ada bencana gempa, banjir, erupsi semeru ataupun bencana lain. Berbeda ketika pandemi, ribuan nyawa yang hilang atau jutaan manusia terbaring di rumah sakit dengan tabung oksigen tidak mampu memunculkan welas asih diantara kita. Sebagiannya mungkin berkata “Persetan dengan pandemi!”. Ucapan yang 180 derajat berbeda dengan sikap empati yang ada pada diri manusia ketika mendapati orang lain terdampak bencana selain pandemi.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan reflektif. Apakah alasan kita menolak menggunakan masker ketika bertemu orang lain adalah untuk menjaga interaksi ataukah karena kita malas beradaptasi? Apakah kita tidak mempercayai Covid-19 karena memang pandemi terbukti konspirasi ataukah hanya untuk mengikuti ego pribadi? Apakah kita enggan divaksin karena kita memiliki bukti ilmiah akan bahayanya ataukah kita memang tidak peduli nyawa orang lain?
Pada kenyataannya semua ahli sepakat mengenai keberadaan Covid-19. Semua negara di dunia turut mengumumkan kejadian di wilayah mereka masing-masing. Setiap hari pula kita melihat berita terkait peningkatan jumlah kasus kematian akibat pandemi. Deretan fakta tersebut nampaknya belum cukup untuk meruntuhkan ego kekubuan yang ada dan kita lebih memilih untuk mendengungkan suara kita masing-masing.
Kita memang tidak tahu berapa episode lagi umur pandemi. Namun yang pasti sekarang sudah ada omicron yang harus kita waspadai. Semoga dua gelombang pandemi kemarin cukup menjadi pembelajaran. Di sisi lain kita tetap harus rileks dan tidak perlu berlebihan merespon virus yang bermutasi, karena sebagai manusia seharusnya kita selalu bisa melawan dengan cara beradaptasi.
*Penulis adalah ASN BPS Kabupaten Buol