OLEH: Kasman Jaya Saad*

Hitungan beberapa jam ke depan, hitungan kita tentang waktu, tentang tahun 2021 akan berakhir, dan dimulainya hitungan waktu berikutnya, tahun 2022. Bagi sebagian orang, waktu begitu lambat, dan sebagian yang lain waktu begitu cepat berlalu.

Pergantian tahun, baru kemarin rasanya, dan sang waktu itu kini kembali di penghujung tahun 2021. Begitu sang waktu, banyak dari kita tidak menyadari kehadirannya. Cepat berlalu. Sang waktu laksana anak panah yang melesat jauh terlepas dari busurnya yang tak akan pernah kembali. Sang waktu juga itu laksana air yang mengalir ke hilir yang tak juga pernah lagi kembali ke hulu. Dan sang waktu “kadang’ membangkitkan gairah dan semangat, dan “kadang” ia memperdayakan.

Saat ini, bersama sang waktu ritme kehidupan kita berjalan semakin cepat, terjebak dalam pusaran kecepatan. Segalanya harus serba cepat. Seolah tak ingin waktu berlalu begitu saja. Terus berkejar dengan waktu, dan kecepatan menjadi indikatornya. Ingin cepat sukses dan segera berhasil, bahkan kita ingin bercinta lebih cepat, urusan tidak cocok belakangan.

Boleh jadi ini menjadi salah satu pemicu tingginya tingkat perceraian, karena perkawinan sekedar legitimasi pelampiasan nafsu seksual an sich. Dan itu sebab juga birokrat yang dimuliakan dengan anggaran negara juga terobsesi ingin cepat sukses dan kaya. Tidak peduli dengan proses. Maka jalan pintas dengan menghalalkan segala cara diembatnya dan korupsi ”seakan’ menjadi begitu membudaya.

Para politisi juga semakin kemaruk, konsumtif dan miskin integritas. Semuanya dimabuk asesoris keduniaan. Dan kita larut memuliakan mereka sebagai produk demokrasi.

Kecepatan membuat waktu selalu menjadi kurang. Seakan tak cukup untuk melampiaskan keinginan manusia.  Penilaian tentang waktupun demikian linear, melesat jauh kedepan tanpa makna. Dan kini sang waktu itu akan berganti angka, 2021 ke 2022.

Pergantian yang sering disikapi dengan berbagai sajian ragam musik, makan-makan, minum-minum, dan bahkan “mungkin” pesta pora, namun miskin refleksi. Padahal refleksi, sesungguhnya adalah belajar. Belajar adalah bentuk atau cara untuk lebih mengerti dan menyadari bahkan mencintai serta menghasilkan masa depan yang lebih baik dan penuh nilai.

Refleksi juga merupakan proses melihat kembali pengalaman yang telah dijalani untuk dapat menarik lessons learned bagi diri sendiri dan dilanjutkan action plan untuk lebih baik ke depannya dan lebih bermakna bagi sesama. Karena masa depan adalah masa yang senantiasa diinginkan, dicapai, dan dijadikan cita-cita memetik hasil yang lebih baik dan penuh berkah.

Kemampuan kita memetakan dengan benar dengan mengambil hikmah dari masa lalu, merenungi masa kini, dan merancang masa depan akan menjadi clue keberhasilan dalam menatap masa depan yang lebih baik dan membahagiakan.

Olehnya di penghujung tahun 2021, di relung waktu yang tersisa ini, kita jadikan sebagai titik tolak hijrah menuju kebaikan dan kebijaksanaan, menata diri melakukan resolusi dan refleksi. Tak layak membuang waktu dan mengisinya dengan kesia-siaan, layaknya ‘pesta’ banyak dilakukan orang di negeri ini bila terjadi pergantian tahun. Semoga kita termasuk orang yang beruntung. Tidak larut dengan cara memaknai pergantian tahun dengan membuang waktu tanpa makna, tanpa resolusi dan refleksi.

Bahwa kehidupan terus berotasi sebagaimana waktu tak pernah berhenti, terus bergulir, terus melaju. Waktu memang tampak diam, padahal ia terus bergerak, bergerak perlahan menuju keabadian, menuju sang pemilik waktu.

Lantas sudah habiskah waktu kita sekarang? Tentu saja belum! Saat membaca tulisan ini kita masih punya waktu, masih hidup, maka dari itu tetap waspada. Waspada setiap saat adalah sebuah keniscayaan sikap, karena waktu akhir hidup tak dapat diprediksi.

Sebelum semua terlambat, maka pergantian tahun seharusnya mengingatkan kita untuk kembali ke skrip kehidupan yang telah digariskan-Nya. Adakah waktu itu digunakan  untuk mengingat-Nya dan bermanfaat bagi banyak orang atau sebaliknya.

Adalah Syekh Ibnu Atha’illah menjelaskan dalam Al-Hikam “Sebaik-baiknya waktumu adalah ketika engkau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya diri-Mu di hadapan-Nya”. Pesannya jelasnya, waktu yang terbaik ketika kita mengingat-Nya dan merasakan kehadiran-Nya.

Peluk rahmat-Nya menjadi pengikat nikmat, agar sang waktu dalam hati selalu dimudahkan menemukan ketenangan. Pada hati dimana merasakan segenap beban begitu mudah tersingkirkan. Dan yang tersisa hanyalah kedamaian tidak terjebak kecepatan dan ketidakpuasan.

Begitu sang waktu akan terus menggelar sebuah jawab tentang diri yang tak pandai bersyukur. Dan semoga kita tidak gamang, karena tak cukup memiliki bekal menghadap-Nya. Selamat tahun baru 2022. Semoga waktu tersisa lebih bermakna dan penuh berkah. Tabe.

*Penulis adalah Dosen Unisa Palu