POSO – Pihak keluarga almarhum Asri Saputra Amran (23), menyesalkan pelayanan yang dilakukan pihak RSUD Undata Palu. Buruknya pelayanan dinilai menjadi penyebab meninggalnya pasien Asri Saputra Amran, di ruang isolasi pada 1 Januari 2021 lalu.
Warga Dusun Kalamalea Kelurahan Madale Kecamatan Poso Kota Utara Kabupaten Poso itu merupakan rujukan dari RS Yanto Poso, pada tanggal 31 Januari 2020.
Oleh pihak RS Yanto Poso, pasien yang masih berusia muda itu didiagnosa menderita penumpukan cairan di paru-paru yang mengakibatkan sesak napas.
Sesampai di Undata, Asri Saputra langsung dimasukkan ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD).
“Setibanya di UGD almarhum langsung diberi cairan infus, dipasang tabung oksigen dan diberi obat oleh perawat jaga, tanpa ada dokter yang memeriksanya,” jelas ayahanda almarhum kepada sejumlah wartawan di Poso, Selasa (05/01).
Kemudian, lanjur dia, almarhum kemudian dibawa ke ruang isolasi dengan alasan agar pelayanan bisa lebih cepat dan maksimal.
“Meski belum ada hasil terkonfirmasi covid, almarhum disarankan oleh perawat dibawa ke ruang isolasi agar pelayanan jauh lebih baik,” sambung ibunda almarhum, Fitria (38).
Dari situ, lanjut dia, pihak keluarga tidak lagi diizinkan mendampingi pasien karena sudah berada di ruang isolasi.
“Bahkan pampers yang kami berikan ternyata tidak dikasih ke pasien. Buktinya almarhum sampai buang ari kecil di celana sampai meninggal dunia,” tambah Fitria yang juga didampingi istri almarhum, Cici Fadilah (19) beserta paman, Idris (49) dan adik kandungnya, Rahmat (20).
Keluarga menengarai ada sejumlah kejanggalan, sebelum almarhum diketahui meninggal dunia.
“Almarhum sempat mengirimkan pesan suara melalui handphone kepada kami minta tolong bahwa cairan infusnya sudah habis namun belum ada perawat yang datang mengganti,” ungkap Amran, ayah almarhum.
Selain bukti rekaman, pihak keluarga juga memiliki bukti percakapan WhatsApp almarhum dengan perawat yang isinya meminta agar cairan oksigennya segera ditambah.
Namun sejauh ini, pihak keluarga sendiri mengaku sudah ikhlas dengan kepergian almarhum yang saat ini telah dimakamkan secara protokol kesehatan Covid-19 di kampung halamannya, Dusun Kalamalea, Kelurahan Madale.
“Hanya saja yang kami sesalkan, pelayanan yang kami terima benar-benar tidak sesuai dengan prosedur yang ada. Kuat dugaan telah dilakukan pembiaran oleh rumah sakit sampai anak kami akhirnya meninggal dunia. Apalagi mulai datang sampai meninggal tidak ada satupun dokter yang merawat karena alasannya waktu itu hari libur,” ucap Amran .
Pihak keluarga juga mengaku akan membawa kasus ini ke ranah hukum.
“Semua bukti yang kami punya saat ini akan kami jadikan barang bukti untuk proses hukum lebih lanjut,” jelas Amran.
Selain itu, pihak keluarga juga mengaku heran karena almarhum baru diketahui meninggal pada pukul 17.00 wita.
“Sementara menurut perawat almarhum meninggal pada pukul 14.00 wita. Berarti tiga jam setelah meninggal kami baru diberitahu. Padahal kami seharian menjaga almarhum di lantai satu RS Undata karena almarhum dirawat di lantai 2,” sambung Fitria sambil menahan tangis.
Kejanggalan lainnya, lanjut dia, setelah meninggal dunia, perawat tadi langsung memblokir nomor almarhum. Anehnya lagi, anti gores yang terdapat pada handphone almarhum, juga hilang.
“Padahal menurut keterangan dari RS Yanto Poso, almarhum ini hanya perlu disedot untuk mengangkat cairan dalam paru-parunya,” tutur Idris sang paman.
Menanggapi tudingan tersebut, Wakil Direktur RSUD Undata, dr Amsyar Praja yang dihubungi MAL Online, membantah pernyataan pihak keluarga bahwa tidak ada dokter di ruang IGD yang memeriksa almarhum.
“Tidak mungkin tidak dokter di IGD. Tindakan perawat itu semua atas keputusan dokter,” katanya.
Ia mengatakan, semua tindakan yang dilakukan pasti merupakan keputuan dokter dan perawat hanya menjalankan.
“Kalau dokter menyarankan pindahkan ke ruang isolasi, ya pindah ke isolasi. Tentu ada dasarnya sehingga dibawa ke isolasi,” jelasnya.
Ia menambahkan, di RSUD Undata ada protap yang berlaku, kapan dikatakan harus dibawa ke ruang isolasi, dan kapan tidak.
“Cuma memang kadang-kadang masyarakat tidak ketemu ilmunya dengan ilmunya kita (kedokteran) jadi kadang susah menerjemahkan karena meraka awam dan memakai versinya sendiri. Kita ada protokol, ada protap, sementara menurut mereka (keluarga pasien) seperti itu. Tapi menurut kami ya seperti itulah yang kami jalankan,” tuturnya.
Alangkah berbahayanya, lanjut dia, ketika pasien tersebut sudah skoring sekian (Covid-19), kemudian hanya dirawat di ruang biasa, maka akan banyak orang yang tertular.
“Lebih aman, kita bawa ke ruang isolasi sambil menunggu hasil swab. Kalau ternyata hasil swabnya negatif, ya selesai, kita kembalikan ke ruang biasa. Tapi kalau positif ya tetap di situ (ruang isolasi), sampai tertangani dengan baik. Intinya apa yang dilakukan sudah sesuai standar,” tutupnya.
Reporter : Mansur
Editor : Rifay