PALU – Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM) menyelenggarakan Sekolah Pemilu dan Demokrasi, di Kantor Bawaslu Provinsu Sulteng, Ahad (13/09).

Kegiatan tersebut terlaksana atas kerja sama PIM dengan Jaringan Advokasi untuk Keadilan (JATI Centre) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).

Menurut Direktur PIM, Rusli Attaqi, potensi pelanggaran dan kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah, bisa terjadi di segala titik, hingga akhirnya menggerus kualitas demokrasi.

Maka, kata dia, sebagai kontribusi untuk meningkatkan kualitas demokrasi, maka perlu gerakan individu dan komunitas untuk berkolaborasi dengan kerja pengawas melakukan pencegahan pelanggaran, dan melaporkan pelanggaran kepada Bawaslu atau jajarannya.

Dalam kesempatan itu, Rusli Attaqi menguraikan poin strategis penyelenggaraan kegiatan sekolah pemilu dan demokrasi tersebut, yakni mendekatkan pengawasan pemilihan dalam kehidupan sosial, berupa menciptakan simpul pengawasan potensial di lapisan masyarakat.

Menurutnya, individu dan komunitas sosial jika dikonsolidasikan secara tepat akan menjadi kekuatan besar membantu kerja-kerja penyelenggaraan, khususnya Bawaslu.

“Pengawas pemilihan memiliki jumlah sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas. Ini tentu menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat,” paparnya.

Poin strategis selanjutnya adalah mempertahankan integritas dan kapasitas pemilih, melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta yang menghasilkan lulusan potensial menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing.

“Dengan spesifik, memiliki integritas dan kapasitas memadai dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya berkolaborasi dengan pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu,” jelasnya.

Menurutnya, atas integritas dan kapasitas individu yang telah dibina, diharapkan menjadi bibit kristal untuk menyebar hingga membentuk kekuatan sosial masyarakat.

Minimal, kata dia, sosialisasi dilakukan pada keluarga terdekat, lalu menggelinding ke komunitas dan masyarakat.

“Kemudian perluasan jaringan sosialisasi. Peserta mengutamakan pegiat dan aktivis sosial, sehingga ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dapat terdistribusi langsung ke tengah komunitas mereka,” jelasnya.

Menurutnya, secara teknis kerja pengawasan pemilihan bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai. Bentuknya bisa di media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial.

“Selanjutnya, estafet penyelenggara pemilihan,” sebutnya.

Ia menjeleskan, para lulusan dalam jangka panjang dilatih menjadi pemimpin di masa depan, baik di jajaran penyelenggara sendiri maupun di dalam komunitas struktur sosial masyarakat.

Ia berharap, dengan jaringan lulusan atau kader yang sudah terbentuk, ditambah dengan jaringan komunitas yang telah mereka bangun sebelumnya, akan menjadi modal sosial calon pemimpin.

“Tinggal saat ini, terus mengasah dan menempah diri meningkatkan integritas dan kapasitas hingga layak menjadi pemimpin dan layak menjadi tumpuan koordinator penyelesaian masalah sosial,” pungkasnya. (RIFAY)