Sebagian kalangan, khususnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng seakan menganggap tuntutan terwujudnya hak partisipasi atau Participating Interest (PI) sebesar 10 persen ke PT Donggi Senoro Liquefied Natural Gas (DSLNG), di Kabupaten Banggai, adalah suara sumbang.
Bahkan, ada kalangan yang gagal paham dengan maksud dari PI 10 persen kepada perusahaan migas tersebut.
PI bukanlah bagi hasil pendapatan, melainkan hak daerah melalui BUMD dalam bentuk penanaman modal pada aktivitas pertambangan dengan besaran 10 persen dari total pendapatan perusahaan per tahun.
Dimana-mana, yang namanya pemilik saham, pastilah mendapatkan bagian dari hasil pendapatan perusahaan induk. Berdasarkan hitungan kasar, keikutsertaan Pemprov dalam usaha migas DSLNG itu bisa menghasilkan kurang lebih Rp6 triliun, berlipat-lipat dari capaian APBD selama ini.
Acuannya, hasil produksi PT. DSLNG memiliki kapasitas 2,1 Milion Ton Per Annum (MTPA) dengan harga terendah 3 Dolar Amerika per Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD).
“Mata pencaharian” daerah yang menjadi ladang eksploitasi sumber daya alam, khususnya migas ini adalah halal dimata aturan. Ini adalah hak rakyat yang dikeruk kekayaannya oleh pengusaha kakap.
Semua ini terilhami dari terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor: 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang kemudian didetailkan lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Produk hukum ini adalah peraturan perundangan pasca reformasi yang memberikan kesempatan daerah melalui BUMD untuk terlibat dalam kegiatan usaha hulu migas.
Kehadiran PP ini menjadi angin segar bagi perjuangan daerah di mana wilayah kerja itu berada untuk turut serta dalam kegiatan usaha hulu migas, bukan lagi hanya jadi penonton.
Walaupun pada perjalanannya, peraturan ini ternyata lemah dari sisi implementasi. Selain keterbatasan SDM dan sumber keuangannya, terkesan ada upaya membatasi ruang gerak daerah berperan dalam pengelolaan blok migas.
Tapi meski belum detail, namun dalam PP ini, kontraktor sendiri sudah wajib menawarkan PI 10 persen kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus migas.
Kebijakan turunan kemudian diterbitkan lagi melalui Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 37 Tahun 2016.
Aturan terakhir inilah yang bisa menjadi benteng kokoh pemerintah daerah untuk “memaksa” perusahaan agar mengakomodir BUMD sebagai pemilik saham. Tidak ada alasan minimnya ketersediaan modal, karena aturan ini sudah meringankan pemda untuk masuk. Jika belum cukup duit, maka Pemprov bisa melakukannya dengan cara mangansur atau melalui pemotongan pendapatan yang diterima setiap tahunnya. Semua bisa dinegosiasikan.
Sayang, sejauh ini Pemprov Sulteng yang seolah-olah tidak memiliki daya dobrak untuk menerobos saham 10 persen itu. Belum ada langkah kongkrit yang dilakukan.
Memang, mendapatkan peluang itu tidak cepat, karena ada tahapan yang harus dilalui, diantaranya harus menyiapkan BUMD khusus Migas, SDM, Perda dan membentuk tim negosiasi ke PT. DSLNG.
Olehnya, perjuangan ini harus dilakukan bersama, karena bukan untuk kepentingan kelompok atau partai politik tertentu. PI 10 persen adalah peluang besar, tinggal bagaimana membuat indrustrialisasi nasional berbasis BUMD.
Jika Pemprov jeli, maka diyakini tidak akan ada lagi kebutuhan rakyatnya yang tidak terpenuhi, utamanya dalam urusan kesehatan dan pendidikan.
Kepemilikan saham juga tak hanya memberikan manfaat secara ekonomi, tetapi memberikan kesempatan kepada daerah untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan blok migas. Tak kalah penting adalah terbukanya peluang besar bagi daerah dalam memanfaatkan migas untuk memenuhi kebutuhan energi di daerahnya sebagai bagian dari ketahanan energi. Wallahu’alam (Rifay)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.