PALU – Sikap Dewan Adat Kota Palu yang menolak adanya gerakan #2019GantiPresiden, bahkan akan mengancam sanksi adat (givu) kepada pelakunya, memantik reaksi dari berbagai kalangan.

Di antaranya berasal dari sejumlah aktivis yang tergabung dalam gerakan tersebut.

Presidium Gerakan #2019GantiPresiden Sulteng, Andi Akbar, Selasa (24/07), mengatakan, yang berlangsung saat ini adalah iklim berdemokrasi, soal menyampaikan pendapat adalah hak yang diatur dalam konstitusi.

“Kami tidak dalam konstruksi kampanye, tidak dalam mendukung capres/cawapres yang lain. Ini adalah reaksi masyarakat yang tidak puas dengan kinerja rezim saat ini dan kamilah orang-orang itu,” singkat Akbar.

Sementara Pegiat sekaligus Pemerhati Adat Kaili, Zainuddin Tambuala, menyatakan bahwa sikap Dewan Adat Kota Palu itu mengarah pada pembungkaman kebebasan warga negara untuk berekspresi, bahkan terkesan menghidupkan sikap-sikap feodal yang sudah usang.

“Hemat saya, gerakan ganti presiden adalah gerakan pemikiran yang harusnya dihadapi dengan dialog pemikiran, bukan dengan cara mengajak aparat keamanan yang berpotensi memanfaatkan kekuatan,” sebutnya.

Dia mengatakan, di alam kebebasan, berserikat dan berkumpul yang dilindungi UUD 1945, maka muncullah gerakan ganti presiden, yang notabene merupakan keinginan yang sangat menghargai demokrasi, karena disisi lain ada kekuatan masyarakat yang memiliki keinginan kuat untuk tetap Presiden Jokowi 2019.

“Keduanya sangat konstitusional, sesuai ruh pasal 28a UUD 1945,” jelasnya.

Wakil Ketua Komsi IV DPRD Sulteng itu menambahkan, dalam konteks saling menghargai perbedaan, dibutuhkan kesepahaman dan tanggung jawab dalam mengekespresikan keinginan masing-masing pihak secara bebas tanpa ada intimidasi dari siapapun.

“Kota Palu adalah milik kita bersama lintas suku, lintas agama dalam bingkai NKRI yang kita cintai. Kita juga berharap agar keharmonisan antar sesama ini tidak tercermari oleh sikap-sikap yang tidak dewasa dalam menyikapi setiap perbedaan. Mari bertarung ide dan gagasan besar, bukan dengan cara-cara feodal,” tandasnya.

Tak hanya secara individu, sikap dewan adat tersebut juga ditanggapi secara kelembagaan dari sejumlah Ormas Islam di Kota Palu.

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Sulteng, Habib Hasan Alhabsyie bahkan menyatakan, sikap dewan adat tersebut terlalu politis dan keluar dari teritorialnya sendiri.

“Jadi soal 2019 ganti presiden itu bukan teritorial lembaga adat. Justru sikap itu bisa mempermalukan lembaga adat itu sendiri,” tegas Habib Hasan.

Menurut Habib, dewan adat dibuat untuk menjaga stabilitas daerah itu.

“Dalam artian jika ada adat yang dibuat sesuai ajaran Islam, ya itu seharusnya yang diteruskan,” tandasnya.

Terpisah, Presidium Forum Umat Islam (FUI) Sulteng, Harun Nyak Itam Abu menyebutkan, di Indonesia, yang menjadi rujukan adalah UUD 1945 yang dalam perspektif konstitusi memberi jaminan kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat, berkumpul dan berserikat kepada rakyatnya.

“Jadi kalau ada lembaga yang menolak atau apapun itu, saya rasa kita harus mengkaji kembali dasar negara kita,” tegas Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako itu.

“Jadi dibantah dengan argumen apapun, orang-orang tetap akan menganggap bahwa lembaga ini sudah terseret-seret politik,” tegasnya.

Sehingga, kata dia, tidak seharusnya orang yang menyampaikan pendapat seperti tagar 2019 ganti presiden harus dilarang.

“Ada yang lebih pantas harus dilarang. Contohnya kasus Victor Laiskodat agar jangan sampai terjadi di Kota Palu,” tutupnya. (RIFAY/FALDI)