Setiap akhir tahun, gegap gempita menyelimuti banyak sudut negeri. Dentuman petasan, tiupan terompet, pesta-pesta malam tahun baru, hingga aneka perayaan yang meriah menjadi pemandangan yang lazim.

Namun bagi seorang Muslim, momen-momen semacam ini bukan sekadar persoalan budaya atau hiburan semata, melainkan menyangkut prinsip akidah, identitas keimanan, dan batasan syariat yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.

Islam hadir sebagai agama yang sempurna, mengatur bukan hanya hubungan hamba dengan Allah, tetapi juga sikap hidup seorang Muslim di tengah masyarakat yang plural. Termasuk dalam hal ini adalah larangan menyerupai dan turut serta dalam perayaan keagamaan orang-orang non-Muslim.

Allah SWT menegaskan bahwa umat Islam harus memiliki jati diri yang jelas dan tidak larut dalam tradisi keimanan lain. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna (perayaan orang kafir), dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

Sebagian ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “az-zūr” dalam ayat ini termasuk perayaan dan ritual agama kaum musyrikin. Artinya, seorang mukmin sejati tidak ikut menyaksikan apalagi terlibat dalam perayaan tersebut.

Rasulullah SAW memberikan peringatan yang sangat tegas melalui sabdanya: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menjadi landasan utama para ulama dalam menegaskan haramnya mengikuti tradisi dan perayaan keagamaan non-Muslim, termasuk Natal dan Tahun Baru Masehi yang disertai dengan ritual khas, simbol-simbol akidah, serta perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam.

Menyerupai di sini bukan hanya soal pakaian, tetapi juga ikut merayakan, mengucapkan selamat dalam konteks ritual, serta terlibat dalam aktivitas khas perayaan tersebut.

Dalam Islam, hari raya adalah bagian dari syiar agama dan tidak boleh dicampuradukkan. Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau mendapati penduduknya memiliki dua hari perayaan.

Maka beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Hadits ini menegaskan bahwa umat Islam hanya memiliki dua hari raya, dan tidak dibenarkan mengambil atau merayakan hari raya agama lain, karena hari raya adalah bagian dari ibadah dan identitas keyakinan.

Selain unsur peniruan terhadap budaya non-Muslim, perayaan Tahun Baru Masehi juga sering kali dipenuhi dengan Ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa batas), hura-hura berlebihan, petasan dan pemborosan harta, lalai dari shalat, bahkan tidak jarang disertai minuman keras dan perbuatan maksiat.

Padahal Allah SWT telah memperingatkan manusia dalam firman-NYA, “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad: 26). “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 27)

Perayaan yang dipenuhi dengan pemborosan dan kemaksiatan jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung kesederhanaan, ketakwaan, dan kehormatan diri.

Sesungguhnya Islam sangat menjunjung tinggi toleransi dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain.

Namun toleransi dalam Islam tidak berarti mencampuradukkan akidah atau ikut dalam ritual keagamaan agama lain.

Allah SWT menegaskan prinsip tegas dalam Surah Al-Kafirun: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)

Ayat ini menjadi garis tegas bahwa keyakinan tidak boleh dicampur, meskipun hidup dalam masyarakat yang majemuk.

Pergantian tahun seharusnya menjadi momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan larut dalam euforia yang melalaikan.

Mengikuti perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi yang penuh hiruk-pikuk bukanlah perkara sepele dalam pandangan Islam.

Ia berkaitan langsung dengan akidah, loyalitas keimanan, serta identitas seorang Muslim. Al-Qur’an dan Hadits telah memberi rambu yang jelas agar kaum Muslimin menjaga kemurnian tauhid serta tidak larut dalam tradisi agama lain.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan tekanan budaya populer, umat Islam dituntut untuk tetap teguh, cerdas menyikapi zaman, serta menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai kompas kehidupan.

Sebab kemuliaan sejati bukan terletak pada kemegahan perayaan, tetapi pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lam

RIFAY (REDAKTUR MEDIA ALKHAIRAAT)