SIANG itu, langit Kota Palu begitu terang. Jalan protokol Samratulangi tampak seperti biasa—ramai secukupnya, tidak terlalu padat. Namun, dari kejauhan terdengar samar teriakan yang kian lama makin jelas. Suaranya membesar, menggulung dari arah utara.

Ratusan orang mulai memasuki ruas jalan. Mobil berpelantang suara dan sepeda motor mengiringi langkah mereka. Aparat kepolisian sibuk mengatur lalu lintas yang mulai tersendat di kawasan perkantoran itu. Sempritan polisi, suara mesin, dan riuh orasi berpadu menambah kebisingan siang yang panas.

Ratusan massa aksi yang tergabung dalam Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Aliansi Rakyat Guru Bersatu, serta Front Mahasiswa Nasional itu terdiri dari tenaga pendidik, kesehatan, dan teknis asal Kabupaten Donggala. Mereka berkumpul di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah, tepat di sisi kanan gerbang utama.

Mereka datang dengan membawa spanduk, poster, dan beragam atribut aksi. Tuntutannya jelas: pemerintah Kabupaten Donggala segera membayarkan gaji ke-13 dan 50 persen gaji ke-14 tahun anggaran 2024, yang hingga kini belum diterima dengan alasan defisit APBD.

Orasi bergantian berkumandang. Satu per satu melepaskan uneg-uneg yang selama ini mengganjal. Panas terik tak membuat semangat mereka surut. Banyak di antara mereka datang dari pelosok Donggala—menempuh puluhan hingga ratusan kilometer. Ada yang datang bersama pasangan, anak, bahkan keluarga yang senasib sepenanggungan.

Aksi itu semakin hidup dengan penampilan teatrikal dari seniman Palu. Mereka memperagakan P3K yang memikul ember—simbol beratnya beban hidup—seraya membawa poster bertuliskan: “Stop Intimidasi ASN P3K, Bayarkan Gaji 13 dan 50% Gaji 14 ASN!” dan “Stop Diskriminasi ASN P3K!”

“Hari ini kami tidak ingin berbicara soal regulasi, bukan kami tidak butuh jalan, jembatan, klinik, dan taman, tapi situasi guru, orang-orang menjerit, berapa sih gaji mereka,” seru Koordinator Lapangan, Raslin, dalam orasinya.

Raslin menyebut, jumlah P3K di Donggala mencapai 2.055 orang: 1.582 tenaga pendidik, 449 tenaga kesehatan, dan 24 tenaga teknis. Selain itu, ada 1.886 peserta seleksi tahap I tahun 2024 yang belum menerima surat keputusan pengangkatan.

“Berbagai upaya dilakukan pertemuan baik dengan bupati dan dewan perwakilan rakyat daerah Donggala, namun tidak mendapat kepastian pembayaran,” ujarnya.

Menurut Raslin, total nilai yang seharusnya dibayarkan sekitar Rp13,5 miliar—angka yang seharusnya mampu dipenuhi daerah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ia berharap Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, dapat turun tangan memberi solusi. “Dirinya yakin Anwar Hafid merupakan sosok solutif bagi segala persoalan,” katanya.

Sementara di ruang rapat kantor gubernur, Anwar Hafid tengah memimpin pertemuan bersama Badan Anggaran DPR RI, Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah, dan sejumlah bupati se-Sulawesi Tengah. Salah satu pokok bahasannya: pembayaran gaji P3K.

Dari atas mobil komando, seorang guru dari Dusun Sisere mengambil alih mikrofon. “Lapar, kelaparan, dan haus, kehausan, mau buang air kecil harus lari ke sungai,” katanya lantang. Ia bercerita harus menempuh perjalanan seratus kilometer pergi-pulang untuk mengajar di daerah terpencil tanpa akses air bersih maupun warung makan.

“Jangan kalian semua apatis, tutup mata, telinga!” serunya lagi, disambut tepuk tangan dan pekik solidaritas.

Di tengah kerumunan, kisah lain turut mencuat. Seorang guru yang sudah berusia di atas lima puluh tahun belum juga menerima SK pengangkatan. Ada pula kakak yang harus mengubur harapan menyekolahkan adiknya karena belum menerima gaji ke-13 dan sisa gaji ke-14.

“Ada kakak harus membiayai pendidikan adiknya, akibat tidak menerima gaji 13 dan sisa 50 persen gaji 14 harus mengubur impian harapan adiknya meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi,” ujar salah seorang peserta aksi.

Beberapa tenaga P3K bahkan mengaku mendapat intimidasi agar tidak ikut aksi, dengan ancaman kontrak mereka tidak diperpanjang. Meski begitu, mereka menegaskan akan terus memperjuangkan haknya.

Di antara massa, Ansar Renaldi, guru SMP di Batusuya, berdiri sambil menggendong anak balitanya. “Gaji tersebut bagi dirinya sudah memiliki anak menempuh pendidikan sangat diperlukan membiayai keperluan sekolah,” katanya pelan.

Menanggapi tuntutan itu, Kepala BKD Sulawesi Tengah, Adiman, menyampaikan bahwa gubernur sebenarnya berniat menemui massa aksi. Namun, karena masih memimpin rapat penting bersama Banggar DPR RI, pertemuan ditunda. “Salah satu agenda rapat terkait P3K,” ujarnya. Ia pun meminta perwakilan massa untuk menjadwalkan pertemuan langsung dengan gubernur.

Ketika kumandang azan Zuhur menggema, orasi berhenti sejenak. Massa mencari tempat teduh untuk menunaikan salat. Usai salat, di halaman Masjid Al-Mujahidin yang berada di kompleks perkantoran, Gubernur Anwar Hafid akhirnya keluar menemui mereka. Suasana seketika berubah haru dan riuh.

“Pokoknya satu dua hari saya kabari apa solusinya, kapan dibayar, tapi saya jamin harus dibayar,” ujar Anwar, disambut sorak dan tepuk tangan para P3K.

Ia menjelaskan bahwa tuntutan mereka telah dibahas dalam rapat bersama Banggar DPR RI dan para bupati. “Selesai ini saya tahan wakil Bupati Donggala, pokoknya harus ada solusi, komunikasi juga sudah kepada Bupati Donggala. Kita percaya saya, soal hak tinggal waktu, nanti kami punya urusan pemerintah,” katanya memberi asa.

Sore itu, semangat para P3K seolah menemukan secercah cahaya. Di tengah panas yang mulai reda, mereka menggenggam harapan bahwa perjuangan panjang hari itu tidak sia-sia.