OLEH : Efendi Kindangen*

Di tengah gemuruh era digital, manusia seakan berdiri di persimpangan: antara kesadaran dan data, antara jiwa dan algoritma.

Pertanyaan besar pun muncul: Apakah manusia masih menari dengan kehendaknya sendiri, atau hanya mengikuti irama yang diputar mesin?

Lebih dari seabad lalu, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche pernah berseru, “Tuhan telah mati.” Ia tidak sedang menantang agama, melainkan menyampaikan kabar duka: sumber makna transenden telah runtuh.

Dunia modern kehilangan kompas ilahi. Sejak itu, manusia harus menciptakan nilainya sendiri—menjadi penari di atas panggung kosong, menulis gerak makna dengan tangannya sendiri.

Namun, kini gema itu berubah menjadi bisikan baru yang lebih getir: Apakah manusia juga telah mati?

Shoshana Zuboff, pemikir kontemporer dari Harvard, menyebut fenomena ini sebagai Kapitalisme Pengintai (Surveillance Capitalism).

Dalam sistem baru ini, pengalaman manusia dijadikan bahan mentah ekonomi. Setiap klik, tatapan, lokasi, dan emosi dipanen, diproses, lalu dijual kembali dalam bentuk prediksi perilaku.

Kita bukan lagi penari yang bebas di panggung dunia, melainkan data mentah dalam laboratorium perilaku global.

Di sinilah benturan paling sunyi zaman ini terjadi: pertarungan antara kesadaran dan data. Data tanpa kesadaran adalah kekosongan yang cerdas.

Algoritma mampu memetakan perilaku, tapi tak memahami luka sebuah puisi atau sukacita sebuah hubungan. Ia meniru kehidupan tanpa pernah mengalaminya.

Sebaliknya, kesadaran tanpa data adalah kepolosan yang tersesat.

Jiwa yang murni tapi buta arah di tengah arus informasi yang bergolak. Ia menari dengan mata tertutup di panggung yang berputar cepat.

Maka, jalan keluarnya bukan menolak salah satu, melainkan menyatukan keduanya.

Kita perlu menjadi penari yang sadar — memeluk data dengan kritis, menaruh kesadaran sebagai kompas etis. Data harus menjadi alat refleksi, bukan takdir yang membelenggu. Hanya kesadaranlah yang dapat mengubah informasi menjadi pemahaman, dan data menjadi kebijaksanaan.

Nietzsche pernah berkata, “Tuhan telah mati.” Zuboff memperingatkan, “Manusia sedang direduksi.”

Di antara dua gema besar ini, kita berdiri di panggung baru: bising, terang, dan penuh sorotan.

Namun selama kita masih punya keberanian untuk merasa, berpikir, dan menari—tarian itu tetap milik kita. Tarian penciptaan makna. Tarian yang abadi.

*Penulis adalah Pendiri Pesantren Lansia Emas (Edukasi untuk Masyarakat Senja) dan Komunitas Pembelajaran Seumur Hidup/Petani dan Peternak di Desa Sunju Kecamatan Marawola