“Setengah Kebenaran Lebih Bahaya dari Kebohongan”

oleh -
Ilustrasi. (media.alkhairaat.id)

Kemarin selesai shalat dhuhur saya duduk di depan TV, dan istri sementara menonton sinetron India kesukaannya. Sayapun ikut menonton bersamanya. Saya tertarik mendengar dialog antara pemeran pria dan wanita di sinetron tersebut, tentunya bukan dalam Bahasa India, karena kalau menggunakan Bahasa India saya tidak akan paham.

Ada satu kalimat yang terucap dari pemeran pria pada sinetron tersebut yang menurut saya menarik untuk dibuatkan status, yaitu, “setengah kebenaran lebih bahaya dari kebohongan”. Saya ambil HP dan langsung mengetiknya di status fb saya. Setelah beberapa lama terlihat ada yang like dan ada satu komentar “ora mudeng…”.

Mulanya saya tidak paham apa itu “ora mudeng”, pikir ini mungkin Bahasa Jawa jadi saya tanya ke istri apa artinya, kebetulan istri saya mengerti sedikit Bahasa Jawa. Tapi karena mungkin dia lagi serius menonton, langsung menjawab tidak tahu. Sayapun ikut serius menonton bersamanya dan melupakan status dan komentar itu.

Besok paginya ada tambahan komentar “waduh”, “kena semua”, bahkan kawan saya yang seorang doktor berkomentar “bagaimana maksudnya itu…, mungkin bisa dijelaskan, kurang mudeng saya…”.

Lho sebelumnya “ora mudeng” ini lagi muncul kalimat “kurang mudeng”. Saya Kembali bertanya ke istri, jangan-jangan “ora mudeng itu artinya “kurang mengerti”. Istri menjawab; sepertinya begitu. Sayapun berinisiatif untuk mencoba menjelaskan status saya di atas menurut pemahaman saya,  yang sebetulnya adalah potongan dialog pada sinetron India. Saya coba menjelaskan dengan sebuah cerita fiktif sebagai berikut:

Suatu pagi di sebuah desa kecil terpencil, hiduplah seorang kyai muda yang bernama Amin (maaf jangan dikaitkan dengan akronim salah satu capres ya!!!!). Sekalipun masih muda Ia terlihat berwibawa dikenal sebagai sosok yang cerdas, santun dan bijaksana serta selalu menegakkan kebenaran. Desa itu dikejutkan oleh sebuah kasus pencurian yang mengguncang ketenangan warganya. Barang berharga dari beberapa rumah hilang tanpa jejak.

Kyai Amin merasa terpanggil untuk membantu mengungkap misteri tersebut. Ia memutuskan untuk melakukan penyelidikan sendiri, meskipun banyak yang meragukannya karena usianya yang masih muda. Namun, semangat kebenaran membimbingnya untuk tetap melanjutkan.

Dalam perjalanannya, Amin menemui beberapa petunjuk kecil yang akhirnya mengarahkannya pada seorang bapak setengah baya bernama Pak Agung, yang memang sebelumnya pernah terlibat pencurian di desa itu. Warga desa segera menilai Pak Agung sebagai pelaku pencurian tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri. Namun, Amin tidak terburu-buru membuat keputusan. Ia tahu bahwa kebenaran membutuhkan waktu dan usaha untuk terungkap sepenuhnya.

Amin mulai berbicara dengan Pak Agung, mencari informasi lebih lanjut tentang peristiwa itu. Seiring waktu, ia menemukan bukti-bukti yang menyatakan bahwa Pak Agung tidak bersalah. Pengakuan salah satu saksi yang awalnya memberatkan Pak Agung ternyata berubah setelah dihadapkan dengan fakta-fakta baru.

Amin akhirnya berhasil membuktikan bahwa Pak Agung tidak terlibat dalam pencurian tersebut. Ia membawa kebenaran ke hadapan warga desa, meskipun hal itu membuat beberapa orang malu karena telah bersikap sembrono dalam menilai orang lain.

Kisah ini tidak hanya mengungkapkan keberanian Amin untuk menegakkan kebenaran, tetapi juga memberikan pelajaran tentang pentingnya tidak terburu-buru dalam membuat penilaian hanya berdasarkan petunjuk “setengah kebenaran”. Keberanian untuk mencari kebenaran, bahkan di tengah desakan opini publik, adalah nilai luhur yang perlu dijunjung tinggi.

Ketika seseorang menyampaikan informasi yang sepertinya benar, namun sebenarnya hanya sebagian dari keseluruhan informasi yang tersedia, hal tersebut dapat menyesatkan dan menyimpang dari gambaran keseluruhan yang sebenarnya. Orang yang menerima informasi tersebut mungkin akan membuat keputusan atau membentuk pandangan yang tidak sepenuhnya berdasarkan fakta yang lengkap.

Informasi awal yang diterima Amin memang mengandung “setengah kebenaran”, karena Pak Agung sebelumnya pernah terlibat pencurian, tetapi jika hanya menerima informasi yang setengah-setengah tanpa mencari kebenaran secara utuh akan sangat berbahaya. Sehingga pernyataan bahwa “setengah kebenaran lebih bahaya dari kebohongan” mengandung makna bahwa informasi yang hanya sebagian benar atau hanya sebagian disampaikan dengan sengaja dapat lebih merugikan daripada menyampaikan informasi yang sepenuhnya salah atau bohong. Hal ini dikarenakan adanya potensi untuk memanipulasi persepsi dan pemahaman orang terhadap suatu situasi atau isu.

Dengan demikian, pernyataan ini menekankan pentingnya transparansi dan kejujuran dalam menyampaikan informasi. Meskipun kebohongan dianggap tidak baik, setengah kebenaran dianggap lebih berbahaya karena dapat menimbulkan ketidakpahaman dan penilaian yang keliru.

Islam mengajarkan untuk berbicara dengan jujur, transparan, dan adil. Oleh karena itu, menyajikan informasi secara utuh dan tidak memanipulasi kebenaran sangat dianjurkan dalam pandangan Islam.

Konsep kejujuran dan penyampaian informasi yang benar, integritas, dan keadilan dalam berbicara dan berperilaku sangat dipentingkan dalam ajaran Islam.

Allah berfirman yang artinya; “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian pihak yang selalu menegakkan keadilan sebagai saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri atau kedua orang tua dan keluargamu, baik dia kaya atau miskin, karena Allah lebih mempedulikan keduanya daripada kamu. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena dia dapat menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, mereka akan mendapat siksa yang berat, disebabkan mereka telah melupakan hari perhitungan.” (Q.S. An-Nisa: 135).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati akan mengucapkan kebenaran dan akan berdusta. Maka, hati yang berbicara benar dan lisan yang berdusta adalah pada keadaan yang tenang dan aman. Dan hati yang berdusta dan lisan yang berbicara benar adalah pada saat marah.” (HR. Ahmad).

Kadang tontonan bisa jadi tuntunan jika kita mau mengambil hikmah dari tontonan, meskipun sinetron India. Wallahu A’lam bi shawab.

AMAL ALKHAIRAATY