Palu — Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Indonesia tetap terjaga pada triwulan I-2025 meski dibayangi meningkatnya ketidakpastian perekonomian dan pasar keuangan global. Ketidakpastian ini terutama dipicu oleh kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) dan eskalasi perang dagang yang terus memanas.

Memasuki awal triwulan II-2025, risiko pelemahan global atau downside risk dinilai masih tinggi, sehingga pemerintah melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berkomitmen memperkuat koordinasi dan kebijakan antarlembaga. Dalam rapat berkala KSSK II Tahun 2025 yang digelar Kamis (17/4), seluruh anggota KSSK — Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) — sepakat meningkatkan kewaspadaan guna memitigasi dampak rambatan faktor risiko global sekaligus menjaga ketahanan ekonomi domestik.

Kepala OJK Sulawesi Tengah, Bonny Hardiputra, mengungkapkan bahwa ketidakpastian global pada triwulan I-2025 dipicu oleh kebijakan tarif AS yang berujung pada perang dagang. “Kebijakan ini berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi AS, Tiongkok, dan global, serta meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan,” kata Bonny, Senin (28/4).

Ia menjelaskan, kebijakan tarif tersebut juga memicu perubahan perilaku investor global. Pemilik modal kini cenderung mengalihkan investasinya dari AS ke aset-aset safe haven seperti komoditas emas serta instrumen keuangan di Eropa dan Jepang. Di sisi lain, aliran keluar modal dari negara berkembang masih terus terjadi, menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar mata uang mereka.

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) April 2025, Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,8% untuk 2025 dan 3,0% untuk 2026. Angka ini masing-masing turun 0,5 dan 0,3 percentage points dibandingkan proyeksi awal tahun. Penurunan ini disebabkan oleh dampak perang tarif, disrupsi rantai pasok global, meningkatnya ketidakpastian, dan memburuknya sentimen pasar.

Indonesia juga terkena imbas revisi proyeksi pertumbuhan, yang dipangkas menjadi 4,7% (-0,4 pp) untuk 2025. Meski demikian, penurunan ini dinilai lebih moderat dibandingkan negara lain di kawasan seperti Thailand (-1,1 pp), Vietnam (-0,9 pp), Filipina (-0,6 pp), dan Meksiko (-1,7 pp).

Ketegangan dagang antara AS dan Tiongkok semakin memanas setelah kedua negara menaikkan tarif lebih dari 100%. Meskipun ada upaya diplomatik dari berbagai negara, retaliasi Tiongkok memperburuk hubungan dagang dan meningkatkan risiko inflasi serta perlambatan ekonomi, terutama di AS. Sebagai respons, AS menunda pemberlakuan tarif resiprokal selama 90 hari untuk negara-negara non-retaliasi, namun tetap menetapkan tarif dasar universal sebesar 10%.

Di tengah gejolak tersebut, ekonomi Tiongkok pada triwulan I-2025 justru tumbuh lebih kuat dari yang diperkirakan. Namun ke depan, tekanan dari ketegangan perdagangan diperkirakan akan berdampak lebih luas terhadap perekonomian negara itu.

Indonesia terus meningkatkan kewaspadaan menghadapi dinamika global ini, dengan memperkuat sinergi antar lembaga dan menjaga kestabilan sektor keuangan nasional demi menghadapi potensi tekanan eksternal yang lebih besar.

Reporter: Irma/***