SIGI – Masyarakat adat di Pegunungan Kamalisi tengah menghadapi berbagai tantangan akibat klaim hutan lindung oleh pemerintah, yang dilakukan melalui pengawasan KPH Banawa-Lalundu. Kebijakan ini membatasi ruang gerak komunitas adat di wilayah tersebut.
Ancaman lain datang dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), di mana sebagian wilayah adat Kamalisi terancam oleh ekspansi industri ekstraktif yang bertujuan memenuhi kebutuhan material pembangunan mega proyek tersebut, seperti batu dan kerikil dengan target hingga 30 juta ton.

Tak hanya itu, pelepasan kawasan hutan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) sering kali dijadikan modus untuk mendorong investasi, termasuk pertambangan Galian C, yang semakin memperparah tekanan terhadap wilayah adat.

Menanggapi situasi ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kamalisi bersama Samdhana Institute menyusun model advokasi kebijakan inklusif yang melibatkan seluruh pihak, baik komunitas adat, Pemerintah Daerah, maupun Pemerintah Pusat.

Menurut Ketua AMAN Kamalisi, Demus Paridjono, model ini diharapkan dapat menjadi solusi atas persoalan yang terus dihadapi masyarakat adat Kamalisi.

“Di Pegunungan Kamalisi terdapat komunitas adat seperti Vau, Rompi, Vaturalele, Vatutinggu, Vaelipe, Onguntovaiyo, Sibava, Visolo, Ona, Vavuja’I, Matantimali, hingga Tavalai Banja. Seluruh komunitas ini mengalami tekanan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat adat,” ujar Demus dalam diskusi di Rumah AMAN Kamalisi, Jumat (20/12).

Demus juga mengingatkan bahwa konflik antara masyarakat adat dan rezim kehutanan telah berlangsung lama. “Pada masa Orde Baru, masyarakat adat Kamalisi pernah dipindahkan paksa ke dataran Palolo. Meskipun saat ini pemindahan paksa tidak terjadi, konflik dengan institusi kehutanan tetap ada,” jelasnya.

Malik dari Unit Policy Support Samdhana Institute menambahkan, model advokasi yang dirancang akan berbasis pada kebutuhan masyarakat adat.

“Kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat memiliki berbagai skema, seperti hutan adat, Hak Kekayaan Intelektual Komunal, kearifan lokal, desa adat, hingga pendaftaran hak ulayat. Setiap skema ini melibatkan kementerian terkait, sehingga pendekatan advokasi harus menyeluruh dan strategis,” paparnya.

Malik menekankan pentingnya memahami dinamika politik kebijakan untuk mencapai hasil yang diinginkan. “Kerja advokasi ini memerlukan kesabaran dan strategi yang matang, baik di tingkat daerah maupun pusat,” imbuhnya.

Keduanya berharap model advokasi kebijakan ini dapat memperkuat posisi AMAN Kamalisi dan komunitas adat dalam memperjuangkan hak-haknya di masa depan.

Reporter :**/IKRAM