64 Tahun Setelah “Labolong” Membombardir Donggala

oleh -
Tiang-tiang pancang dermaga Pelabuhan Tanjung Batu yang tersisa akibat dibom Permesta. Tiang-tiang tersebut baru lenyap saat gempa bumi dan tsunami tahun 2018 lalu. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

Selasa, 26 April 2022, tepat 64 tahun pengeboman Kota Donggala yang dilakukan pasukan Permesata (Perjuangan Alam Semesta). Pengeboman berlangsung selama tiga hari berturut-turut, mulai dari 26 April hingga 28 April 1958. Sejumlah fasilitas kota porak-poranda setelah pesawat Mustang membombardir kota itu.

Permesta merupakan gerakan militer yang dideklarasikan pemimpin militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957 oleh Letkol Ventje Sumual, bersama wakilnya Letkol M. Saleh Lahede dan sekretaris Kapten Bing Latumahina. Markas terakhirnya di Manado hingga bubar.

Donggala memang menjadi salah satu kota sasaran utama yang akan dihancurkan, sebab memiliki pelabuhan penting sebagai gerbang utama pengiriman logistik dari berbagai daerah.

64 tahun setelah peristiwa itu, masih menjadi memori kolektif sebagian orang tua di Donggala. Peristiwa yang tak terlupakan bagi warga Donggala ketika pesawat pengebom yang mereka sebut “Labolong” atau hitam itu membuat ratusan warga sipil mengungsi ke berbagai tempat di pinggir kota jauh dari pusat keramaian.

“Saat kami mengungsi bersama orang tua, membuat perlindungan dengan menggali lubang untuk menjaga kalau kemungkinan pesat datang. Lubang dibuat di Desa Ganti sekadar menjaga-jaga saja, biar aman,” kenang Hayati (80 tahun), salah satu warga Donggala, mengenang masa-masa pahit gerakan Permesta.

Kenangan serupa diungkapkan Ismail Husen Lamongke (78 tahun). Waktu itu ayahnya (Husen Lamongke) bekerja sebagai pegawai KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) di pelabuhan Donggala. Menurutnya, waktu itu yang jadi sasaran utama pengeboman adalah kapal yang sedang berlabuh. Pengeboman hari pertama adalah Kapal Insumar, tanggal 26 April 1958.

“Insumar ini merupakan salah satu kapal kargo yang sedang berlabuh agak jauh dari dermaga. Posisi pesawat yang menjatuhkan bom agak tinggi sehingga sasaran meleset. Akibat kejadian itu, sehari kemudian Insumar meninggalkan pelabuhan dan sebaliknya Kapal Giliraja masuk pelabuhan,” kenang Ismail.

Pada hari kedua, Jumat (27 April) pesawat bomber Permesta kembali ke langit pelabuhan sekitar pukul 07.00 Wita. Ia muncul dari arah ujung Tanjung Karang dan langsung menjatuhkan bom, tapi belum juga mengena sasaran.

Peristiwa paling dahsyat adalah kejadian tanggal 28 April 1958. Saat itu masih pagi, sekitar pukul 07.00 Wita, ketika anak-anak sekolah belum masuk kelas. Saat itu pesawat sudah meraung-raung di langit Donggala dan membuat orang kocar-kacir. Para siswa berlarian mencari tempat perlindungan di sekitar sekolah. Setelah kejadian, seluruh sekolah diliburkan selama beberapa hari hingga betul-betul suasana tenang.

Semasa hidupnya, Abdul Azis Ranroe (1943-2017), seorang tokoh masyarakat Donggala, pernah mengisahkan bahwa rumah orang tuanya yang bersebelahan dengan Kantor Panca Niaga di dekat pelabuhan ikut kena bom, seluruh isinya ludes.

Namun pada pengeboman hari ketiga itu, penduduk di sekitar pelabuhan sudah mengungsi ke berbagai tempat. Keluarga Ranroe sendiri mengungsi ke rumah kerabat yang ada di Kabonga dengan menempati gudang kelapa. Sejak itu pula orang tua Abdul Azis tidak pernah kembali membangun rumah di area pelabuhan dan memilih membangun rumah di Kampung Boya, tengah Kota Donggala.

Selain kapal tenggelam, kerusakan paling parah dialami satu uni gudang coprafond PKKD (Pusat Kopderasi Kopra Daerah) Donggala. Gudung tiga berbahan besi itu roboh pada bagian timur sehingga bangunannya ditambah dalam bentuk tembok. Sedangkan lantai dermaga juga roboh total, tinggal tiang-tiang pancang dari batang pohon yang tersisa. Tiang-tiang tersebut cukup lama bertahan dan baru hilang ketika gempa bumi dan tsunami, 28 September 2018 lalu.