Zikran, Pekerja Seni yang Menggagas Buku Daur Ulang

oleh -
Moh Zikran

Lelaki berambut gondrong itu duduk di teras rumahnya, di Desa Kotarindau, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi.

Satu bilik  bagian depan rumahnya disulap menjadi kantor Taman Bacaan Todea. Dalam kantor itu, potongan-potongan kertas daur ulang diletakkan di atas siru. Ada yang ukuran A4 ada pula yang A5, juga beberapa buku-buku bacaan, dan barang-barang lainnya yang diletakkan di lemari.

Namanya Moh. Zikran. Februari nanti usianya genap 25 tahun. Sejak Sekolah Dasar, mahasiswa Jurusan Arsitektur Untad itu sudah tertarik pada musik. Dia bahkan menjual sepedanya untuk membeli gitar yang selalu dibawanya ke sekolah. Dia juga gemar membuat kerajinan tangan dari barang-barang bekas, misalnya kardus .

“Di SD saya sudah mulai mengenal dunia seni, spesifikasinya musik dan seni lukis. Sampe kelas 6 itu saya sudah bawa-bawa gitar ke sekolah. Terus sempat buat-buat kerajinan mobil-mobil dan lain sebagainya. Sampai mamaku bilang, kayaknya dia ini (cocok) teknik mesin, karena babuat-buat mobil dia,” ujar alumni SDN 3 Dolo itu.  

Setelah lulus SD, dia bergabung dengan sanggar seni di desanya, Sanggar Seni Tamunggu. Kesukaannya terhadap seni bertambah, merambah ke seni peran, menjadi aktor teater. Tidak heran jika ia bergabung di Dewan Kesenian Kabupaten Sigi saat ini.

Zikran juga bisa memainkan alat musik -selain gitar- bass, okulele, lalove, kakula, Peree, harmonika, pianika, kakula, gimba, jimbe, kalamba dan rekorder.

Sejak SD hingga SMP, ia  sudah dekat dengan buku, tetapi belum intens membaca. Ketika SMA, tidak hanya membaca buku, tetapi dia mendiskusikan bacaannya dengan teman-temannya. Dia punya kawan yang sama-sama menyukai buku, meski berbeda genre.

Lulusan SMAN 2 Sigi itu melahap buku-buku agama, sebab di rumahnya tersedia banyak buku-buku agama Islam, karena kedua orangtuanya guru Pendidikan Agama Islam kala itu.

Owner Nobalu (Wirausaha Sosial) tersebut, juga tertarik dengan buku-buku psikologi, ada buku tentang body language yang sangat disukainya sejak SMA. Itu mengapa ia ingin kuliah jurusan Psikologi atau Seni Musik. Tetapi ketika ia cek di Untad, kedua jurusan itu tidak tersedia, sementara ia tidak mengantongi izin orangtua untuk kuliah ke luar Kota Palu.

Ketika sudah menyandang status mahasiswa Arsitektur Untad, putra dari Dirwas Suleman dan Rosniar Lapasewa itu menyadari bahwa arsitektur memiliki keterkaitan dengan seni yang telah digelutinya sejak kecil. Karena berbicara konsep, desain, dan memahami desain panggung, akan lebih mudah dipahami ketika memahami tentang ruang. Dari perspektif itu -memahami ruang- menjadi titik munculnya ide taman bacaan, di tahun 2017. 

BACA JUGA :  Guru Besar Fisip Untad: Putusan MK Perkuat Kontestasi Demokrasi Lokal

Anak ke-8 dari 9 bersaudara itu berpikir kala awal menjadi mahasiswa, kalau ia masuk Arsitektur, dia bisa membangun ruang kreatif, yaitu taman bacaan, yang dahulu  namanya Gerakan Literasi Sigi (GLS).

Todea sendiri diambil dari bahasa Kaili yang berarti masyarakat. Kata itu muncul dari naskah teater yang selalu terlintas di kepala Zikran, “Mba puramo komiu todea ku, mana semua masyakatku atau orang-orangku,”

“Di Todea menjadi ruang mengekspresikan diri, karena kadang-kadang orang tidak percaya diri dengan potensi yang dimiliki, apalagi ditambah di lingkaran kita itu ada yang sekolah, ada yang tidak. Otomatis kalau ada teman yang tidak sekolah, dia minder. Kita buat taman bacaan karena itu, di situ kita, kau mau sekolah dan tidak sekolah, kita sama-sama belajar. Tidak ada batasan ruang, batasan segala macamnya, kita sama-sama manusia, kita belajar sama-sama, kita pintar sama-sama,” papar pria yang tergabung sebagai relawan Sekolah Puncak Raranggonau.

Pria berdarah Lauje, Arab, Kaili, dan Bugis itu membagikan aktivitasnya di Todea yang sudah mendapatkan restu orang tua. Hampir seluruh aktivitasnya terpaut dengan Todea.

Dari taman bacaan itu, lahir berbagai kerja sama dan giat lainnya, seperti festival plastik, festival agroforestry, festival literasi, dan lainnya. Bahkan, ketika dia aktif menyuarakan literasi melalui musik dengan bergabung sebagai vokalis di band Bersajak, semangat yang dibawanya adalah semangat Todea.

Di Todea, mereka punya Bioskop Todea, yang biasanya digelar kegiatan nonton bareng film-film pendek karya anak Palu, dan beberapa film edukasi lainnya. Bioskop Todea juga hadir di lokasi pengungsian korban Banjir Bandang di Desa Torue, Parigi Moutong (2022), dan menjadi awal mula Zikran dan timnya membuat produk dari kertas daur ulang.

“Di Taman Bacaan Todea ini, kita punya Todea Store. Kita buat beberapa kerajinan, termasuk daur ulang kertas ini kita coba masukkan. Sebelumnya itu kita daur ulang plastik jadi lukisan, buat lukisan dari benang. Terus kemarin, kan, ada terjadi bencana banjir di Torue, kita buat Bioskop Todea. Setelah itu kita ke lokasi (banjir), kita dapat perpustakaan Desa di sana, itu buku-bukunya banyak sekali. Kita lihat buku-buku itu hanya di depan perpustakaan, kalo dikumpulkan semua, berapa ratusan juta uang yang terbuang?”

Zikran dan kawan-kawannya lalu meminta buku-buku tersebut ke pihak desa dan pengelola perpustakaan untuk dibawa ke kantor Todea. Sebelum dibawa, mereka sortir dulu, mana buku-buku yang masih bisa digunakan, dan yang tidak, itulah yang didaur ulang. Hasil dari daur ulang berupa kanvas dan lukisan, buku sketsa atau buku catatan, wadah souvenir, dan kertas undangan vintage.

BACA JUGA :  KPU Palu Ingatkan Rambu-Rambu Kampanye kepada Paslon

Karya-karya itu dijual, lalu hasil penjualan dibelikan buku bacaan dan diberikan lagi ke Perpustakaan Desa Torue. Tidak berhenti di situ, Zikran dan teman-temannya tetap melanjutkan daur ulang kertas. Karena dapat menjadi usaha dana mandiri untuk menopang aktivitas seni dan literasi mereka.

Selain tim Taman Bacaan Todea yang terlibat dalam proses daur ulang kertas, anak-anak yang sering belajar di Perpustakaan Todea pun ikut serta. Anak-anak itu membuat buku untuk mereka sendiri.

“Mereka tanya saya, Kak Zikran ba apa? Itu anak-anak umur kelas 3, 4 atau 6 begitu. Saya jawab dan ajak mereka lihat proses pembuatan kertas dan memperlihatkan contoh kertas yang sudah jadi.  Mereka bilang, boleh torang coba? Mereka excited, karena ternyata mereka bisa bikin kertas untuk buku mereka sendiri. Kalau mereka gagal, mereka coba lagi, buat lagi, baru dipamerkan dengan teman-temannya. Muncul lagi teman yang satu, mereka panggil lagi, lihat ini karyaku, sini mari sama Kakak Zikran,” ujar Zikran yang juga memiliki keterampilan menganyam, misalnya tikar dari daun pandan hutan dan tonda dari daun silar.

Potongan kertas daur ulang yang sudah kering diletakkan di siru, dan diletakkan di atas meja. Ukurannya berbeda-beda karena sesuai dengan kebutuhan peruntukkannya. Mereka mencoba beberapa jenis ukuran dan ketebalan. Kalau yang tipis, bubur kertasnya sedikit saja, kalau mau tebal, sebaliknya, diperbanyak bubur kertasnya. Ada beberapa yang ukurannya stabil karena dicetak menggunakan mal.

“Cuman maunya kita kemarin itu, hasilnya itu entah dia tipis atau tebal, begitu saja dia, alami. Tidak pakai mal, hanya cetakan tok, jadi kalau tebal, tebal, kalau tipis, tipis. Nanti tinggal dipisah, yang tebal dan tipis untuk disatukan,”

Dalam prosesnya, buku-buku yang kotor dipenuhi lumpur yang sudah mengering itu dibersihkan dahulu, lalu diblender hingga menjadi bubur kertas yang halus, seumpama bubur yang disaring untuk bayi. Bubur kertas lalu dicetak di atas triplek, kemudian dijemur. Selembar triplek 122 x 244 menghasilkan sekitar 70-an lembar kertas sehingga dua triplek bisa mencetak 150-an lembar.

Selain dua lembar triplek itu, sisa-sisa triple atau papan juga dijadikan media cetak, sehingga bisa mencapai 200 lembar dalam sekali cetak, dan memenuhi target minimal cetak, 70 sampai 100 lembar.

“Mataharinya kita ini kan, panas sekali, jadi dijemur 1 sampai 2 menit saja, tidak lama pokoknya. Ya, paling lama 5 sampai 6 menit Kalau sudah kering, kita pakai cuter khusus untuk mencungkil kertasnya. Setelah itu baru kita rapikan sisi-sisinya. Kalau kita punya kuku panjang, itu bisa pakai kuku juga. Cuma memang harus hati-hati sekali, supaya tidak robek. Bisa juga ditarik langsung begitu, tapi itu mesti ekstra hati-hati. Kalau pakai cuter, dia mempermudah, mempercepat, tapi bahaya bagi anak-anak. Jadi untuk anak-anak, waktu itu mereka langsung tarik begitu,” terangnya.

BACA JUGA :  Bersama Keluarga di Surga

Kaver buku catatan atau buku sketsa akan dilukis dan dapat disesuaikan dengan keinginan konsumen, tentunya dengan harga berbeda berdasarkan ketebalan buku dan kerumitan tingkat desain kaver. Untuk satu buku dengan ketebalan sedang, dibandrol mulai dari Rp150 ribu. Selain kaver buku yang dilukis, mereka juga mendesain kaver buku dari anyaman daun silar.

“Kemarin banyak yang tanya, itu per lembarnya berapa? Tapi kami belum menjual perlembar. Karena kita mau itu, produknya ini (buku) kecuali lukisan. Kalau untuk lukisan, kertasnya lebih tebal lagi,” pungkasnya sambil membandingkan tingkat ketebalan kertas di tangannya.

Zikran dan Taman Bacaan Todea adalah satu paket, seperti seni musik dan literasi. Sebagai pekerja seni, Zikran selalu memadukan literasi ke dalam musiknya. Anggota Kelompok Peduli Lingkungan Jambeana itu pernah menulis beberapa lagu, salah satunya dirilis di Youtube berjudul “Nyanyian Sunyi”.

Lagu itu menceritakan tentang aktivitas kawan-kawannya bersama masyarakat lintas usia ketika bahu membahu membangun rumah belajar dan berkegiatan di Desa Unggaga, Marawola Barat, desa terakhir di Kab. Sigi, yang berbatasan dengan Sulawesi Barat.

“Musik berperan banyak dalam hidupku. Saya waktu masih kecil itu, kakak pertama sudah kuliah, dia banyak memberikan referensi musik. Saya suka sekali musik-musik dulu, cuma yang paling banyak mengubah pandanganku itu di musik reggae,” katanya sambil menggali ingatannya.

“Serenada karya Steven Coconut Trees, saya paling suka. Karena lagu itu paling lekat dengan kita di sini, dia mengangkat kemiskinan dan segala macamnya itu, padahal ada sisi keistimewaannya kita yang harus diperlihatkan. Maksudnya -dalam lirik serenada- jangan kau anggap kau miskin, jangan kau jual kemiskinan kita itu, kita juga istimewa sebenarnya,” aku  Ketua SAGL (Studycation Akademi Generasi Lestari 2022) dan pengurus Forum Taman Bacaan Masyarakat Kab. Sigi.

Lelaki itu menyenandungkan lirik Serenada sebagai penutup cerita panjangnya. Kenapa harus takut ke matahari, kepalkan tangan dan halau setiap panasnya. Kenapa harus takut pada malam hari…

Reporter : Iker
Editor : Rifay