OLEH: Sahran Raden*

Tulisan ini sebagai catatan resume atau sebagian kecil dari analisis kajian virtual ramadhan yang dilaksanakan pada 12 Mei 2020, bertepatan dengan malam ke 20 ramadhan.

Sama dengan kajian ramadhan sebelumnya, kajian ramadhan malam ke dua puluh ini banyak partisipan yang hadir beragam latarbelakang pendidikan dan pekerjaan.

Direktur Pasca Sarjana IAIN Palu, Prof. Dr. Rusli Azhari , M.Soc. Sc, tampil sebagai pemantik dan narasumber diskusi virtual, menyemangati dan menumbuhkan paradigma baru berfikir paserta tentang pemahaman zakat dan pemberdayaan ummat di masa Covid-19.

Di masa pendemik wabah Covid 19 ini, fungsi zakat sifatnya konsumtif sebab sangat dibutuhkan untuk makan dan menyediakan pangan warga yang terdampak Corona. Berbeda hidup normal tanpa wabah, maka sebaiknya Zakat diperuntukan untuk optimalisasi usaha produktif bagi masyarakat miskin yang membutuhkan dikarenakan keterbatasan modal akses sumber daya.

ESENSI IBADAH ZAKAT

Zakat adalah salah satu esnsi ajaran Islam, bahkan zakat merupakan rukun Islam yang sama dengan sholat yang hukumnya  wajib bagi setiap muslim. Zakat adalah ibadah yang berkaitan dengan harta benda.

Berbeda dengan sholat sebagaiibadah yang langsung berhubungan secara vertikal kepada Allah, maka Zakat sebagai ibadah yang berhubungan dengan sesama manusia. Ibadah zakat dapat dikategorikan menjadi dua macam yakni; Zakat Fitrah dan zakat Maal atau zakat harta.

Zakat fitrah berkaitan dengan ibadah bagi orang yang melaksanakan puasa dibulan ramadhan. Dengan itu zakat fitrah ditunaikan hanya dibulan ramadhan yang waktunya sampai sebelum naiknya khotib diatas mimbar saat sholat Idul Fitrih. Setiap orang yang memiliki bekal sehari hari untuk dirinya dan keluarganya harus membayar zakat di akhir bulan Ramadhan.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakatfithrah, satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, pada hamba sahaya (budak), orangyang merdeka, laki-laki, perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum Muslimin” (HR. At-Turmudzi).

Pada hadits yang lain sebagaimana diriwayatkan Ibnu ‘Abbas bahwa, “Rasulullah Saw (atas petunjuk Allah) telah mewajibkan zakat fithrah sebagai thuhrah (pembersih) bagi orang yang melakukan shaum (Ramadhan) dari perbuatan dan ucapan yang sia-sia dan keji, dan merupakan makanan bagi orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum sholat Idul Fitri, maka zakat fitrah itu adalah zakat yang diterima (Allah). Dan siapa menyerahkannya setelah sholat Id, maka zakat itu akan menjadi sedekah (bukan lagi zakat namanya)“. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, disahkan oleh Hakim).

Secara jelas, Allah swt berfirman bahwa zakat yang dibayarkan adalah faktor pensuci jiwa, dan pembersih harta. Dengan berzakat, mata kita tidak lagi bebal dengan kondisi sekitar dan otak kita menjadi peka saat melihat kesenjangan sosial.

Dalam Qur’an Allah berfirman bahwa “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat kamu membersihkan dan menyucikan mereka. Sesungguhnya doa kamu menjadi ketenteraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-taubah: 103).

Selain Zakat fitrah, maka Zakat harta juga menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang hartanya telah memenuhi syarat untuk di zakatkan.

Dalam kitab Fathul Qarib, sebuah kitab panduan fiqh mazhab Syafi’i  karangan Asy Syeikh Syamsuddin Abu Abdillah menjelaskan bahwa zakat harta yang wajib dikeluarkan ada lima perkara yaitu; Hewan ternak, benda benda berharga seperti mata uang, emas dan perak, hasil bumi atau makanan pokok, buah buahan dan harta peninggalan atau perdagangan.

Perkembangan selanjutnya, zakat maal ini bermacam kategorinya seperti, zakat profesi, zakat investasi, zakat deposito, zakat sewa rumah, zakat barang tambang, zakat rumah kotrakan, zakat saham. Masing-masing jenis dari kategori harta tersebut berbeda zakatnya yang wajib ditunaikan setelah nisab dan haulnya terpenuhi.

Besaran zakat bermacam-macam tergantung tipenya. Bagi orang yang berlebih dari hasil pertanian, besarnya zakat adalah sepersepuluh (10 persen) dari hasil bersih jika menggunakan murni air hujan, atau seperduapuluh (5 persen) jika dia menggunakan teknologi dan peralatan tambahan di dalam pertaniannya.

Bagi mereka yang mendapatkan harta dari jalur niaga, besaran zakatnya adalah seperempatpuluh (2,5 persen) dari laba yang didapatkan, begitu juga bagi mereka yang bergaji. Dan mereka yang mendapatkan dari perternakan, juga ada besaran zakat yang harus dikeluarkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat wajib dikeluarkan ketika jumlah harta yang ada melampaui batas minimal kekayaan atau yang disebut nishab dan kepemilikan sudah mencapai setahun (haul).

Jumlah nishab bervariasi tergantung tipe zakatnya, namun untuk zakat niaga atau profesi, nishabnya adalah 85 gram emas. Jadi jika seseorang memiliki harta yang dihitung lalu mencapai nilai setara dengan 85 gram emas, maka dia wajib berzakat.

Baik zakat fitrah maupun zakat harta memiliki tiga dimensi maqhasidnya yaitu; Pertama, secara spritual zakat untuk mensucikan sifat kikir dan bakhil pada diri manusia serta melatih seseorang memiliki sifat kedermawanan.

Kedua, zakat mensucikan harta benda. Bahwa harta yang dikeluarkan untuk zakat  sebagai usaha pengembangan harta benda. Harta jika tidak dizakatkan maka harta tersebut akan mencari jalan keluarnya. Maka ada anekdot jika orang yang ditimpah musiba rumahnya terbakar, uangnya dirampok atau dicuri dan hilang serta lain lain, maka kadang orang menyebutnya hartanya belum dikeluarkan zakatnya.

Disinilah pentingnya zakat ditunaikan bagi setiap muslim sebagai bentuk ketaatan kepada TuhanNya.

FENOMENA KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan permasalahan klasik yang menghinggapi seluruh negara di dunia. Berbagai negara termasuk Indonesia berupaya memformulasika upaya pengentasan kemiskinan yang diangap paling relevan sebagai strategi penanggulanagan kemiskinan.  Merujuk pada Kamus bahasa Indonesia, bahwa kemiskinan berarti tidak berharta benda, serba kekurangan, papa sangat melarat.

Begitu pula Bank Dunia mendeskrisikan bahwa kemiskinan adalah pendapatan yang masih rendah. Adapun proverty line standart yang ditetapkan oleh Bank Dunia adalah pendapatan sebesar US$ 2 per hari.

Jhon Fredmen mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untukmengakumulasikan kekuasaan sosial.

Basis kekuasaan sosial ini meliputi  modal produktif atau aset misalnya; tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber sumber keuangan, organisasi sosial politik  yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang barang, pengetahuan, keterampilan dan informasi. (Qiunney, 1979).

Secara umum kondisi kemiskinan yang dideskripsikan diatas tdiak saja datang dari faktor internal masyarakat, akan tetapi dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik  dan budaya.

Pemerintah melalui BPS menetapkan dua indikator utama penentu kemiskinan yaitu garis kemiskinan makanan dan non makanan.

BPS mencatat penduduk miskin  Indonesia pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta penduduk.

Angka ini menurun 810 ribu penduduk dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Jika dilihat dari persentase jumlah penduduk, penduduk miskin hingga Maret 2019 tercatat 9,41 persen atau menurun dibandingkan tahun sebelumnya 9,82 persen. Dari jumlah tersebut, persentase penduduk miskin di desa mencapai 12,85 persen sementara kota sebesar 6,89 persen.

Hal ini terjadi tingkat  penurunan jumlah penduduk miskin sebagai hal  yang positif di tengah garis kemiskinan yang meningkat.

Di dalam perhitungannya, BPS menggunakan pendekatan pengeluaran per kapita sebesar Rp425.250 per bulan per kapita sebagai garis kemiskinan terbaru. Indikator ini meningkat dari Maret 2018, di mana garis kemiskinan dipatok Rp401.220 per bulan per kapita. Menurut BPS, garis kemiskinan adalah cerminan dari pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan makanan sebesar 2.100 kalori.

Dengan demikian, jika harga-harga bahan pangan meningkat, garis kemiskinan juga terangkat naik. Sebagian besar masyarakat yang miskin ekstrem ini tidak memiliki modal. Makanya, dan ujungnya mengeluarkan penduduk miskin dari kemiskinan,”

Dalam Islam, menjadi kaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan, agar bisa beramal dengan harta sebanyak-banyaknya dan menjadi jalan kemudahan bagi orang lain. Allah swt tidak pernah menurunkan uang dari langit untuk membantu hamba-Nya yang sedang kesusahan, tapi Dia menyuruh hamba-Nya yang berkecukupan untuk bersikap peduli pada sesamanya yang sedang kesusahan.

Berbuat baik dengan berzakat bukanlah untuk siapa-siapa, melainkan untuk kebaikan diri sendiri. Tidak akan berkurang kemuliaan-Nya ketika kita mencoba menipu diri dengan tidak mematuhi aturan-Nya. Yang ada justru adalah bencana yang bertubi-tubi yang akan menimpa.

Zakat kita akan menjadi penyelamat bangsa yang sedang resah karena himpitan ekonomi. Kita tidak hanya berjamaah dalam shalat sebagai ibadah ritual, namun berjamaah dalam ekonomi dengan cara berbagi.

PERAN BADAN AMIL ZAKAT

Badan Amil Zakat dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

Instumen hukum berupa peraturan Undang Undang ini merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu diatur untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna. Zakat harus dikelolah secara melembaga sesuai dengan syariat Islam. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pendayagunaan zakat.

Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Sesuai dengan Undang Undang Pengelolaan zakat bahwa tujuan tata kelolah zakat adalah dalam rangka meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama, meningkatnya fungsi  dan  peranan  pranata  keagamaan  dalam  upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.  Serta meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

Dalam Undang Undang ini zakat yang dkumpulkan berupa  zakat mal dan zakat fitrah.Harta yang dikenai zakat adalahemas, perak dan uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian, perkebunan dan perikanan, Hasil pertambangan, hasil peternakan, hasil pendapatan dan jasa serta tikaz.

Potensi zakat di Indonesia sangatlah besar. Hal ini tecermin dari Indikator Pemetaan Potensi Zakat (IPPZ) dan Outlook Zakat Indonesia 2019 yang dikeluarkan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).

Berdasarkan perhitungan komponen IPPZ, potensi zakat Rp 233,8 triliun (setara 1,72 persen dari PDB tahun 2017) yang dibagi dalam lima objek zakat, yaitu pertanian (Rp 19,79 triliun), peternakan (Rp 9,51 triliun), uang (Rp 58,76 triliun), perusahaan (Rp 6,71 triliun), dan penghasilan (Rp 139,07 triliun). Dalam Outlook dijelaskan, potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp 462 triliun (setara 3,4 persen PDB tahun 2017) bila diterapkan kebijakan zakat sebagai insentif pajak yang ideal (zakat sebagai pengurang pajak). 

Potensi zakat yang besar itu belum dimanfaatkan oleh Badan Amil Zakat dalam upaya mendayagunakan potensi zakat agar dapat terealisir menjadi pendapatan riil  sumber pendapatan BAZNAS.

Beberapa faktor penyebab potensi zakat tidak optimal dalam pengumulan dan pendayagunaannya yakni;

Pertama, masih lemahnya kesadaran umat Islam menunaikan zakat secara menyeluruh. Umat Islam belum secara sadar memahami kewajiban zakat.

Kemunduruan Islam di bidang ekonomi karena umatnya tidak sungguh sungguh  mengamalkan ajaran agamanya. Padahal derajat menunaikan zakat sama dengan melaksanakan sholat. Umat Islam belum menjadikan zakat sebagai kebutuhan spritual keagamaan dalam kewajiban mendirikan rukun Islam.

Kedua, umat Islam di Indonesia lebih memilih membayar pajak dibandingkan zakat. Sebagai warga negara, umat Islam yang sudah memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) akan dipaksa oleh negara untuk membayar pajak sesuai aturan pajak yang berlaku.

Problemnya bahwa  pajak merupakan sumber pendapatan negara yang dinyatakan dalam UUD 1945 dan perundang-undangan pajak. Apabila kewajiban membayar pajak tidak dilakukan, wajib pajak akan mendapatkan sanksi dari negara melalui instrumen hukum pajak.

Maka penting norma dalam Undang Undang 23 tahun 2011 tentang Zakat diimplementasikan dalam pembayaran pajak, bahwa seorang muslim yang telah menunaikan zakat, maka bukti pembayarannya harus dikirim oleh  BAZ ke kantor pajak sebagai pengurangan beban pembayaran pajak bagi mereka yang telah membayar zakat.

Ketiga, pemerintah belum sepenuhnya menyatakan zakat sebagai sumber pendapatan negara bukan pajak yang resmi. Hal ini disebabkan pandangan pemerintah yang mengganggap zakat sebagai instrumen ibadah yang dijalani umat Islam untuk menjalankan rukun Islam.

Berdasarkan problem di atas, maka peran BAZ sangat lah strategis dalam upaya mendayagunakan potensi zakat.

 Beberapa yang perlu dilakukan BAZ baik secara nasional maupun didaerah, yakni ; Pertama, perlu menerapkan social marketing dalam tata kelolah BAZ. Konsep social marketing diciptakan pada tahun 1971 oleh Kotler dan Zaltman. Sinonim untuk social marketing adalah “pemasaran non-profit”, karena ini adalah konsep pemasaran kewiraswastaan, yang terutama berorientasi pada tujuan dan tidak berorientasi pada keuntungan. Ini termasuk kegiatan pemasaran organisasi publik, nirlaba atau non-komersial, seperti fasilitas administrasi publik, rumah sakit, layanan sosial, atau fasilitas perawatan.

Metode social marketing digunakan untuk menumbuhkan identitas korporat mereka atau menyampaikan pesan sosial terkait dengan pentingnya berzakat. BAZ  perlu menerapkan strategi social marketing dalam mensosialisasikan produk zakat. BAZ harus melakukan pengelolan yang berorentasi pada muzaki dimana menuaikan zakat merupakan kewajiban dan kehausan spritual moral dan agama.

Kedua, manajemen organisasi yang terintegrasi. Organisasi BAZ perlu terintegrasi dengan instansi pemerintah, perusahaan, BUMN, BUMD dan para Muuzaki. Organisasi adalah kunci sukses  kelembagaan, dengan organisasi yang terintegrasi secara internal dan ekstrenal BAZ selalu survave dalam penggalangan dana zakat.

BAZ harus tetap satu arah yaitu customer focus pada Muzaki sebagai potensi sumber zakat. Goal Achievement, harus membuat kegiatan marketing lebih efektif dan efisien yang menujang terhadap produk Zakat.

Ketiga, Penerapan Trasnpransi, Aquntabiltas dan Profesionalisme keorganisaian BAZ. Dalam tata kelolah  organisasi maka BAZ perlu menerapkan konsep  e- Transparance  kepada publik melalui sistem informasi teknologi sebagai bentuk pertanggungjawaban dana zakat kepada masyarakat dan kepada Muzzaki.

Sebagai pertanggungjawaban dana zakat kepada publik, maka keuangan BAZ perlu dilakukan audit terhadap laporan keuangan yang telah didayagunakan untuk proudktifitas usaha para mustahik atau penerima zakat, sehingga menumbuhkan kepercayaan publik terhadap keuangan Badan Amil Zakat.

Dalam hal pelaksanaan zakat. berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif  bagi kemaslahatan umat.

Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat. Pentingnya kehadiran lembaga pengelola zakat secara implisit telah dinyatakan dalam Al-Quran.

Bentuk “perintah” (amr) yang digunakan Al-Quran untuk menegaskan kewajiban bagi mereka yang telah memenuhi ketentuan, dapat ditafsirkan sebagai isyarat untuk membentuk suatu sistem yang memungkinkan dapat terlaksananya suatu ajaran.

Di sinilah, antara lain, arti penting kelembagaan zakat, terutama dalam upaya merajut kembali kepedulian umat terhadap sesamanya.

Kelembagaan zakat yang dibentuk pemerintah berupa Badan Amil Zakat yang ada disemua provinsi dan Kabupaten/kota  yang saat ini banyak berkembang sejatinya dapat menjadi jembatan emas dalam merajut kepedulian di antara sesama umat Islam. ***

*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah