OLEH: Basrin Ombo*

PENDAHULUAN

Dalam Islam, harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta merupakan alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu. Dalam Alquran, kata harta ( المال ) disebutkan sebanyak 82 kali. Sebagian besar disebutkan dalam bentuk jamak (اموالكم) sebanyak 14 kali, (اموالهم) sebanyak 31 kali, dan (مالكم) sebanyak 15 kali.

Hal ini menunjukkan bahwa harta merupakan milik bersama (public goods), meskipun dimiliki oleh perorangan, artinya  “harta harus berfungsi sosial”. Harta tidak hanya berfungsi konsumtif  yang hanya dibagi-bagikan kepada masyarakat, tapi lebih berperan dalam fungsi ekonomi edukatif:

Pertama, sirkulatif-distributif untuk mencegah terkonsentrasinya harta di tangan orang-orang kaya saja, tapi harus disalurkan pada bidang-bidang produktif untuk membantu mereka yang lemah secara ekonomi.

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Makah adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Q.S. Al-Hasyr: 7)

Kedua, sifat dan nilai harta adalah berkembang. Nilai edukatifnya adalah mendidik manusia menjauhi sifat tamak dan bakhil yang bertentangan dengan tujuan Allah memberikan harta kepada manusia.

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Ali-Imran: 180).

Ketiga, efektif, harta sebagai modal harus berperan dalam berbagai lapangan produktif yang akhirnya akan tersalur dalam berbagai lapangan usaha secara distributif dan menjalankan produktivitas dan efektivitas ekonomi serta menghindari terjadinya penimbunan harta.

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (Q.S. At-Taubah: 34)

Islam  telah  mengatur penggunaan  harta kekayaan  melalui delapan (8) ketentuan:

Pertama, Islam tidak membolehkan memiliki kekayaan yang tidak digunakan/ diproduktifkan termasuk tanah, karena kekayaan atau modal harus beredar dan memberi manfaat bagi kepentingan masyarakat banyak.

Kedua, membayar zakat untuk kebutuhan fakir miskin dan ashnaf lainnya.

Ketiga, penggunaan harta harus memberi manfaat bagi seluruh masyarakat dan mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Keempat, penggunaan kekayaan oleh pemiliknya jangan sampai merugikan orang lain.

Kelima,perilaku yang benar untuk memiliki harta  adalah melalui cara yang sah, tidak dengan cara penipuan/ kecurangan.

Keenam,penggunaan harta benda pribadi harus berimbang, tidak boros dan tidak kikir.

Ketujuh, penggunaan harta benda harus dapat menjamin kemanfaatan si pemiliknya tanpa menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Kedelapan, penggunaan harta kekayaan harus berorientasi pada kepentingan kehidupan, khususnya dalam pengaturan harta warisan

DASAR KEWAJIBAN DAN PELAKSANAAN ZAKAT

Dalam Alquran terdapat 32 kata zakat (الزكاة), bahkan sebanyak 82 kali diulang sebutannya dengan memakai kata yang semakna dengannya yaitu shadaqah/ infak. Pengulangan ini bermakna bahwa zakat mempunyai kedudukan, fungsi dan peranan yang sangat penting.

Dari 32 kata zakat dalam Alquran, 29 kali digunakan bergandengan dengan kata shalat.

Hal ini menunjukkan bahwa antara zakat dan shalat mempunyai hubungan yang sangat erat. Diturunkan dalam 2 periode, 8 ayat di Mekah dan 24 ayat Madinah.

Ayat-ayat  yang diturunkan di Mekah baru berupa anjuran berbuat baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Ayat-ayat yang turun periode Madinah, perintah tersebut telah menjadi kewajiban mutlak (il-zaami). Alquran menampilkan kata zakat dalam 4 gaya bahasa: “insya’i  (perintah), targhib   (motivasi),tarhib  (intimidatif/ peringatan), madh  (pujian/ sanjungan)”.

Sunnah. Imam Bukhari dan Muslim telah menghimpun sebanyak 800 hadis yang berkaitan dengan zakat. Hadis yang paling populer adalah: “Islam dibangun atas lima perkara: Syahadat, mengakui bahwa tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dam Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa ramadhan”.

Hadits ini menegaskan tentang kewajiban zakat fitrah dan zakat mal, sedang hadis-hadis lainnya menjelaskan sub-sub masalah zakat  seperti jenis harta yang dizakati, nisab, haul, ashnaf dan hal-hal lain yang terkait dengannya.

Ijma’. Di zaman Abu Bakar timbul golongan yang menolak membayar zakat (mani’ al-zakah). Abu Bakar dan sahabat lainnya bermufakat untuk memerangi mereka yang menolak membayar zakat dan dikategorikan sebagai orang-orang murtad. Demikian seterusnya sampai masa tabi’in dan imam mujtahid

Secara  historis, ketika Nabi saw. diutus ke dunia, manusia telah diambang batas kerusakan, disebabkan perilaku penguasa dan orang-orang kaya bersikap zalim dan sewenang-wenang. Orang-orang lemah dieksploitasi, dengan cara riba, penipuan dan kejahatan ekonomi lainnya.

Dalam suasana bobrok tersebut, turunlah ayat-ayat yang menganjurkan supaya orang-orang kaya  membantu orang-orang lemah melalui zakat, infaq dan shadaqah.

Dari sisi sejarah bahwa kewajiban zakat sudah disyariatkan kepada para Nabi dan Rasul terdahulu, yakni disyariatkan kepada Nabi Ibrahim, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah”. (Q.S. Al-Anbiya’: 73). Nabi Ismail,

“Dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya”. (Q.S. Maryam: 55). Bani Israil/umat nabi Musa,“ Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (Q.S. Al-Baqarah: 83).

Nabi Isa, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. (Q.S. Al- Maryam: 31).

Ahl al-kitab pada umumnya,“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.Q.S. Al-Bayyinah: 5.)

Secara logika bahwa akal sehat tidak menerima dua dikotomi; “adanya orang mati terlalu kenyangdan adanya orang mati karena kelaparan”.

Akal sehat tidak menerima dua dikotomi;“ada orang memberikan kelebihan makanannya untuk anjing, sementara ada orang yang mengais rezeki kian kemari untuk mendapatkannya.Secara filosofis bahwa manusia diciptakan dua golongan, yakni: kaya dan miskin.

Hal ini dipahami sebagai kerangka rencana Allah dalam menciptakan keseimbangan yang harmonis dan mewujudkan keadilan yang hakiki serta mendidik manusia supaya menghayati dan menerapkan sikap dan perilaku yang berkeadilan.

Secara sosiologis, zakat adalah refleksi rasa kemanusiaan, keadilan, keimanan serta ketakwaan mendalam yang muncul dalam sikap orang-orang kaya. Tidaklah etis, sebagai makhluk sosial mau hidup sendiri tanpa memperhatikan kesulitan orang lain.

KESIMPULAN

Syari’at Islam itu implementatif, karena itu dalam Negara Indonesia, syari’at tentang zakat dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.

Sebagai warga Negara yang baik sekaligus sebagai muslim yang taat, maka menjadi kewajiban bagi sertiap orang untuk tunduk dan taat terhadap aturan yang ada baik dalam Alquran, hadis Nabi maupun peraturan pemerintah. “Semoga melalui penunaian zakat, kita menjadi orang yang memiliki kepedulian sosial”

*Kepala KUA Kecamatan Lage, Kabupaten Poso