PALU – Badan Anggaran (Banggar) DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali membahas Kebijakan Umum APBD-Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Tahun 2022, bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Sulteng, di ruang sidang utama DPRD, Senin (08/11).
Pada kesempatan itu, anggota Banggar, Zainal Abidin Ishak mengusulkan kepada pimpinan sidang, dalam hal ini Ketua DPRD Sulteng, Nilam Sari Lawira untuk membicarakan sisi pendapatan, kemudian belanja, sebelum menetapkan KUA-PPAS tersebut.
“Selayaknya bicarakan dulu pendapatan, baru belanja, apakah sudah wajar atau tidak. Saya merasa pendapatan belum maksimal, ada objek-objek yang tidak kita sentuh sama sekali, antara lain pajak air permukaan,” katanya.
Ia mengatakan, sesuai hasil kunjungan kerja, pajak air permukaan antara PT Vale yang ada di Sorowako, Sulawesi Selatan, sangat berbeda jauh dengan PT Poso Energy.
Politisi Partai Golkar itu sepakat jika pendapatan yang ada dalam KUA-PPAS ditetapkan saat ini. Namun, kata dia, target pendapatan untuk pajak air permukaan tetap harus dinaikkan.
“Jika Dinas Pendapatan mau bekerja, mari kita sama-sama rumuskan regulasinya, sehingga minimal pada Maret 2022, target untuk pajak air permukaan ini sudah bisa dinaikkan, tidak boleh harus menunggu 2023 lagi. Kami siap bekerja sama. Selang dua minggu ini kita bisa atur regulasinya,” tegasnya.
Semestinya, kata dia, dengan adanya Perda CSR nanti, maka peluang pendapatan daerah juga semakin besar, begitu juga dana bagi hasil yang selama ini tidak maksimal.
“Makanya kita bedah lagi pendapatan untuk melihat objek-objek apa yang belum tersentuh,” ujarnya.
Terkait itu, Anggota Banggar, Yus Mangun meminta kepada pihak TAPD agar menerima saran tersebut dengan catatan.
Menyikapi usulan dan saran rekan-rekannya sesama anggota Banggar, Sony Tandra menyampaikan bahwa Sulteng memiliki beberapa potensi pendapatan. Ia mencontohkan, di PT Poso Energy sendiri, pajak air permukaan hanya berkisar Rp10 miliar dengan daya 185 MW. Sementara yang dikenakan kepada PT Vale dengan daya yang tidak terlalu jauh, justru bisa mencapai Rp88 miliar per tahun.
Namun, kata Sonny, potensi-potensi pendapatan yang dimaksud belum bisa dimaksimalkan sekarang ini. Menurutnya, target pendapatan, termasuk dari pajak air permukaan masih membutuhkan kajian dan regulasi.
Anggota Banggar lainnya, Zainal Daud, menyinggung pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), khususnya untuk kendaraan-kendaraan yang berada di wilayah perbatasan Sulteng dan Gorontalo.
“Di sana, 99 persen yang punya kendaraan dari Provinsi Gorontalo sehingga pajak lebih banyak masuk ke Gorontalo. Alasan mereka untuk mengurus PKB di Sulteng terlalu ribet, sehingga mereka pilih beli kendaraan di Provinsi Gorontalo,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Anggota Banggar, Wiwik Jumatul Rofi’ah menyinggung terkait pentingnya menyebutkan pembiayaan dalam APBD nanti, karena ada kaitannya dengan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Sementara itu, pihak dari Badan Pendapatan Daerah Provinsi Sulteng, terkait pendapatan dari pajak air permukaan, pihaknya juga akan melakukan kajian.
Hal senada dikatakan Bahran selaku Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sulteng. Menurutnya, regulasi peningkatan pendapatan dari pajak air permukaan akan menjadi prioritas di tahun 2022. (RIFAY)