PALU – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sulteng menyatakan tidak ada satu peraturan pun yang mengaminkan penghapusan atau pemutihan utang dari debitur terdampak bencana di Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Sigi.
“Ada tiga peraturan berhubungan dengan kebijakan kredit bagi daerah bencana dan tidak satupun ketentuan yang mengaminkan perlunya penghapusan kredit, yakni Peraturan BI Nomor: 8 Tahun 2006, Peraturan Menkeu Nomor: 4 tahun 2010 dan Peraturan OJK Nomor: 45 tahun 2017,” demikian disampaikan Ketua YLKI Sulteng, Salman Hadianto saat diskusi di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Senin (03/12).
Pihaknya, kàta dia, telah berkoordinasi dengan YLKI Yogya, Aceh dan YLKI pusat guna meminta informasi mengenai penghapusan utang tersebut.
“Informasi dari YLKI Aceh dan YLKI Yogya, penghapusan atau pemutihan tidak serta merta. Yogya butuh waktu 7 tahun baru dapat dihapuskan, nilainya Rp9,6 miliar,” katanya.
Untuk Sulteng, sendiri, dia mengaku belum mendapat informasi berapa nilai kerugian yang dialami tiap lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya, akibat bencana alam yang melanda Kota Palu dan sekitarnya, 28 September lalu.
“Dilansir BPBD, akibat gempa total kerugian ditaksir Rp18 triliun, tapi kerugian terkait perbankan belum ada,” katanya.
Dia menambahkan, sejak awal pada saat kontrak perjanjian antara nasabah dan lembaga keuangan, sudah lemah secara hukum. Undang-undang perlindungan konsumen sudah menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sepihak batal demi hukum.
“Hasil penelusuran kami, 80 persen isi kontrak itu eksploitasi kewajiban konsumen. Hak kita kecil,” ujarnya.
Sementara Kepala Perwakilan OJK Sulawesi Tengah, Syaifudin Lahase, mengatakan, OJK berdiri untuk mengawasi bank karena ada dana masyarakat didalamnya.
“Bisnis bank adalah bisnis kepercayaan menerima dana dan menyalurkan kepada masyrakat,” katanya.
Dia mengatakan, apabila kredit macet, maka bank tidak bisa membayar bunga tabungan dan deposito kepada masyarakat, sehingga bank membuat aturan-aturan karena ada tanggung jawab membayar bunga.
“Misalnya kredit tidak dibayar akibat bencana, maka bank tersebut akan rugi,” katanya.
Anggota Panja Penghapusan Utang DPRD Sulteng, Muharram Nurdin, mengatakan, upaya penghapusan utang ini adalah perjuangan panjang dan tidak bisa dinikmati hasilnya dengan instan.
“Karena setelah mempelajari beberapa dokumen, ternyata posisi debitur ini sangat lemah sekali,” kata Wakil Ketua DPRD Sulteng itu.
Meskipun sebenarnya, kata dia, tahun 1958 dan tahun 1983 Mahkamah Agung pernah mengeluarkan keputusan yang isinya bisa menguntungkan, tetapi kemudian BI mengeluarkan Peraturan Tahun 2012 yang kembali membuat debitur pada posisi sangat lemah.
“Faktanya sekarang bisa dilihat di Sulteng, khususnya Palu, Sigi dan Donggala. Padahal ada keadaan yang memaksa di luar kemampuan debitur untuk melaksanakan kewajibannya tetapi tidak dihitung oleh kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.
Dia menambahkan, BI mengeluarkan Peraturan tahun 2012, sehubungan dengan peristiwa di Aceh, bahwa penghapusan atau pemberian relaksasi terhadap debitur itu, tergantung pada banknya.
“Kemudian, OJK mengeluarkan peraturan hanya relaksasi dua tahun untuk menunda pembayaran. Ini bisa menjadi bom waktu bagi debitur,” tegasnya. (IKRAM)