PALU — Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mengeluarkan pernyataan pers terkait ancaman serius dari limbah tailing industri nikel di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).

Tailing merupakan limbah beracun dihasilkan dari proses High Pressure Acid Leaching (HPAL), teknologi  digunakan untuk mengolah bijih nikel kadar rendah menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), bahan baku baterai kendaraan listrik. Saat ini, IMIP menghasilkan 11,5 juta ton tailing per tahun dan diperkirakan meningkat hingga 47 juta ton pada 2026.

YTM menyoroti bahwa tailing mengandung zat kimia berbahaya, seperti asam sulfat  korosif dan kromium heksavalen, senyawa karsinogenik yang meningkatkan risiko penyakit pernapasan dan kanker. Berdasarkan PP No. 22 Tahun 2021, tailing diklasifikasikan sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Spesifik Khusus dengan bahaya kronis jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan.

Oleh karena itu, pengelolaan tailing wajib dilakukan secara ketat dan aman.
Di kawasan IMIP, hanya terdapat tiga fasilitas penyimpanan tailing tersaring  diketahui, yaitu milik PT QMB New Energy Materials, PT Huayue Nickel Cobalt, dan satu perusahaan tak dikenal.

Ketiga fasilitas tersebut hanya menempati sebagian kecil dari total lahan 600 hektar  dialokasikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem penyimpanan tailing tersebut sangat rentan, terutama karena wilayah tersebut memiliki curah hujan tinggi dan berada di zona rawan bencana seperti longsor dan gempa bumi.

Peristiwa longsor  menewaskan tiga pekerja di fasilitas PT QMB pada 22 Maret 2025 membuktikan lemahnya sistem keamanan. Bahkan, citra satelit dari 3 Januari 2025 menunjukkan keruntuhan fasilitas milik PT Huayue Nickel Cobalt sebelum peristiwa 16 Maret 2025, ketika tanggul jebol akibat banjir melanda Desa Labota dan berdampak pada 1.092 jiwa. Tailing diketahui mengalir ke Sungai Bahodopi, mencemari lingkungan dan membahayakan masyarakat.

Selain curah hujan tinggi, kawasan IMIP juga dilintasi oleh Sesar Matano, sesar aktif terhubung dengan Sesar Palu-Koro. Data RTRW Kabupaten Morowali (2019–2039) mengategorikan Bahodopi sebagai wilayah rawan bencana gempa bumi. Pada 31 Mei 2024, gempa bermagnitudo 5,1 mengguncang kawasan tersebut dan menyebabkan kerusakan bangunan, menunjukkan bahwa wilayah tersebut sangat tidak layak untuk pembangunan fasilitas penyimpanan limbah berisiko tinggi.

YTM menuntut pemerintah agar menghentikan pembangunan dan perluasan fasilitas penyimpanan tailing di wilayah rawan bencana, serta melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh fasilitas tailing di IMIP.

Pemerintah juga diminta mengevaluasi standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dianggap buruk dan sering menyebabkan kecelakaan kerja.

Kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di IMIP, termasuk PT QMB dan PT Huayue Nickel Cobalt, YTM mendesak agar mereka membuka informasi secara jujur kepada publik terkait risiko tailing dan insiden terjadi. Mereka juga wajib bertanggung jawab atas dampak lingkungan dan sosial akibat bencana  diakibatkan oleh kelalaian dalam pengelolaan tailing.

Richard Labiro, Direktur Pelaksana YTM, menegaskan bahwa pengelolaan tailing harus mengutamakan keselamatan, bukan efisiensi biaya.

Richard menuntut agar perusahaan-perusahaan mengadopsi teknologi terbaik tersedia dan menerapkan praktik terbaik dalam mengelola limbah, demi melindungi masyarakat dan kelestarian lingkungan Morowali.

Reporter : **/IKRAM