Mesin ketinting dimatikan, perahu menepi ke bangunan masjid yang tersisa puing. Bagian-bagian masjid hilang, juga rusak, seperti atap seng yang tidak lagi utuh. Masjid tua kemudian dipercaya sebagai keramat.

Kampung Tua, begitu masyarakat menyebut pemukiman lama mereka sebelum akhirnya pindah ke daratan, membangun rumah dan menetap.

Kampung Tua Desa Kalumbatan, Kecamatan Totikum Selatan, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), menjadi salah satu desa yang terdampak ketika gempa berkekuatan 6,5 SR (Badan Geologi Amerika Serikat melaporkan 7,6 M), di tahun 2000 dengan sembilan kali gempa susulan.

Kala itu, perkampungan tersebut dipadati dengan rumah-rumah di atas laut khas suku Bajo. Penduduk menggunakan jembatan seadanya yang terbuat dari kayu atau papan untuk penghubung antar rumah warga, juga ke masjid. Pilihan lainnya adalah menggunakan perahu termasuk ke sekolah.

Di komplek sekolah dasar itulah satu-satunya daratan di kampung itu. Sementara, ada beberapa rumah dibangun di atas susunan batu seperti bangunan masjid yang disebut masjid tua Kalumbatan. Sekitar 25 KK pernah bermukim di situ.

Untuk menuju kampung tua dan sisa-sisa bangunan masjid tua, dapat ditempuh dengan naik perahu warga atau speadboat yang banyak berlabuh di pelabuhan Kalumbatan, dekat pasar. Tarifnya Rp50 ribu per orang pulang dan pergi.

Harga ini dapat lebih murah tergantung tawar menawar dengan pemilik perahu. Waktu tempuh hanya beberapa menit saja, karena jaraknya memang dekat, bahkan dapat dilihat dari dermaga pelabuhan Kalumbatan. 

Saya beruntung sekali ketika memotret masjid tua yang tersisa dari kampung tua itu, saya hanya merogoh Rp30 ribu untuk ongkos, setelah proses tawar menawar yang sedikit lama. Karena saya hanya sebentar saja di kampung tua.

Di temani Ipa (warga lokal) dan juru kemudi, saya menyusuri laut yang dahulu berjejer rumah-rumah warga. Perahu dengan mesin ketinting itu melaju pelan, membawa saya pada kejadian 23 tahun lalu. Gempa terjadi di siang hari, tanggal 4 Mei, dan sekejap rumah-rumah ambruk. Hanya satu rumah yang tidak roboh, tetapi miring. Perkampungan padat itu kemudian menjadi kosong.

“Kalau meti besar (air surut lebih jauh dan pantai lebih luas terlihat), kita bisa berjalan kaki dari daratan ke kampung tua sambil mencari kerang. Rumah-rumah itu baru dibikin, rumah singgah orang yang punya karamba,” kata Ipa.

Ipa menunjuk batu-batu yang disusun juga beberapa tiang rumah yang muncul beberapa centimeter di atas permukaan laut. Katanya, itu bekas-bekas rumah warga. Warga lainnya mengangkut batu-batu ke daratan, sebagai tambahan bahan membangun rumah. Tetapi ada juga yang tidak, seperti bangunan papan yang terletak dekat lokasi masjid, dan dibangun kembali rumah. Tetapi kemudian, rumah itu tidak memiliki penghuni.

Mesin ketinting dimatikan, perahu menepi ke bangunan masjid yang tersisa puing Bagian-bagian masjid hilang karena rusak, seperti atap seng yang tidak lagi utuh.

Masjid tua kemudian dipercaya sebagai keramat oleh warga setempat. Kayu dan tiang-tiang masjid yang tinggal puing itu tidak boleh diambil untuk kebutuhan apapun. Jika ada yang melanggar pantangan itu, akan mendapatkan ganjaran, biasanya yang bersangkutan akan sakit. Barang-brang harus dikembalikan jika tidak ingin sakit.

Mesin ketinting kembali dihidupkan. Saya bergegas naik ke perahu dan kembali ke daratan. Sebelum melihat masjid tua, ketika saya akan menuju Danau Tendetung, saya sempat mengobrol dengan Darmil Selong (60 tahun, pensiunan guru), yang ketika kejadian, ia sedang berada di sekolah, dan baru saja memulangkan siswa kelas 6 perwaliannya. Ia melihat rumah-rumah ambruk perlahan-lahan.

“Air naik, saya lihat rumah-rumah roboh, gempa kuat sekali. Torang mengungsi itu pakai perahu. Ada yang punya bodi susun (perahu penumpang sebagai transportsi antar pulau), orang baku kumpul (berkumpul), ada beberapa KK yang naik satu bodi. Torang punya terpal, jadi itu yang digunakan untuk bikin tenda darurat. Baru juga ada beberapa torang itu punya keluarga di darat, macam saya, saya punya tante, jadi takumpul torang semua di sini,” kenang Darmil.

Menurut penuturan Darmil, tidak ada bantuan dari pemerintah. Mereka baru mendapatkan bantuan berupa terpal, pakaian dan makanan setelah beberapa bulan pasca gempa. Hal itu disebabkan karena media komunikasi yang masih sangat terbatas, termasuk pula sinyal telepon.

Sebelum gempa, oleh pemerintah mereka diminta meninggalkan laut dan membangun rumah di darat melalui satu program yang Darmil lupa nama program tersebut. Tetapi hanya sekitar 10 KK yang pindah, dan sisanya tetap memilih laut karena tidak terbiasa di daratan.

“Dulu belum ada sinyal, belum bisa baku telepon. Kita bikin tenda darurat di sini. Saat kejadian itu, anak-anak saya sudah pulang sekolah, tapi pergi bermain lagi. Saya waktu itu guru, sekarang sudah pensiun. Terus torang lari ke sini, ada yang lari ke arah sana, dan sudah membentuk desa baru, Desa Lobuton, pecahan dari kitorang. Akhirnya, karena mereka banyak terbentuklah desa baru di sana,” tandasnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay