Lebaran Idul Fitri merupakan hari yang sangat menggembirakan bagi anak-anak. Kegembiraan itu mungkin karena memperoleh banyak kelebihan, makanan dan jajanan, baju baru, hingga uang pemberian orang tua dan saudara (hagala).
Di kampung, dulu keriangan itu telah dirayakan anak-anak sejak selepas Shalat Ashar, mereka buru-buru mandi sore karena ingin mengenakan baju baru, lantas berkonvoi bersama teman-temannya.
Namun hal itu tidak sepenuhnya akan dirasakan Muhammad Rafa, bocah 12 tahun yang menjadi korban tsunami di Teluk Palu, Jumat 28 September 2018 silam.
Baginya, hari Raya Idul Fitri adalah salah satu hari yang harus dirayakan. Ia menganggap lebaran merupakan hari di mana semua orang akan memakai pakaian serba baru, termasuk dirinya.
Biasanya (sebelum bencana alam), seminggu menjelang hari raya, bocah 12 tahun itu akan memanfaatkan lahan kosong di depan masjid terapung untuk mengais rupiah dengan cara menjadi juru parkir. Dalam sehari, Rafa biasanya memperoleh penghasilan mencapai Rp100 ribu, hasil dari jasa perkir untuk pengendara yang singgah untuk beribadah di masjid terapung.
“Tapi kalau di luar bulan puasa, biasa itu saya dapat cuman Rp50 ribu saja,” tutur Rafa kepada MAL, baru-baru ini Ahad (19/5) di Kota Palu.
Rafa merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adik perempuannya bernama Naslia kini telah berusia enam tahun. Rafa sendiri lahir di Kota Palu pada 17 Juli 2007 dari rahim seorang perempuan yang sehari-harinya menjadi Ibu Rumah Tangga.
Saat ini Rafa hanya tinggal bersama ibunya, sebab kedua orang tuanya telah berpisah.
Untuk memenuhi hidup sehari-hari, hasil dari jasanya memarkir kendaraan sebenarnya sudah mampu membantu ibunya untuk menjalankan roda ekonomi keluarga kecilnya.
Tetapi, sejak bencana alam itu melanda Kota Palu yang turut meluluhlantakkan lahan parkirnya, maka Rafa harus bersabar untuk bisa membeli baju baru untuk lebaran, sembari menunggu para pengendara yang sudi memarkirkan kendaraannya ketika singgah berswafoto di bekas bangunan masjid terapung yang kini tidak bisa lagi digunakan untuk ibadah.
Sejak bencana itu, dalam sehari hanya beberapa saja masyarakat yang lalu lalang di depan masjid ini. Ada juga yang singgah sejenak untuk sekadar mengabadikan momen melalui kamera gawainya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pascabencana ini, hingga memasuki seminggu menjelang lebaran, Rafa terlihat begitu lesu.
Wajar saja, jika tahun sebelumnya ia mampu mendapatkan Rp100 perhari, kini jangankan Rp50 ribu, Rp20 ribu saja itu sudah beruntung bisa didapat dalam sehari.
“Tidak juga saya kasih harga Rp2 ribu untuk setiap motor, malah saya bilang seikhlasnya saja. Uang itu saya tabung untuk saya dan adik saya buat lebaran. Malah biasa kalau saya sembahyang sama-sama dengan mamaku, saya bilang sama Allah supaya saya bisa lebaran dengan baju baru juga sama adeku Naslia,” cerita Rafa, sedih.
Saat ini, tabungan Rafa belum juga cukup untuk membeli baju lebaran. Bahkan, ia merasa bingung apakah dirinya bisa berlebaran seperti anak-anak lainnya atau tidak.
Bencana 28 September 2018 memang menjadi awal bagi bocah 12 tahun itu merasakan getirnya kehidupan. Tapi Rafa sadar betul dengan apa yang saat ini menimpa dirinya.
Dan, hal itu tak lantas membuat si kecil Rafa bersedih. Ia tetap menjaga tekad kuatnya untuk menjadi seorang Guru Matematika bagi anak-anak lainnya dimasa yang akan datang. (FALDI)