PALU – Iklan lowongan kerja paruh waktu berseliweran di lini masa media sosial, terutama instagram, tiktok, dan facebook.

Iklan paruh waktu menggunakan nama marketplace seperti Lazada, Blibli, Bukalapak, dan lainnya adalah salah satu dari banyak cara kasus penipuan online, termasuk penipuan mengatasnamakan selebriti dengan mentransfer sejumlah uang untuk dapat mengklaim hadiah senilai puluhan hingga ratusan juta.

Dua pekan lalu, tepatnya Ahad (30/03), seorang warga Sulteng berinisial NS tertipu dari situs marketplace mengatasnamakan Blibli. Kepada awak media ini, NS mengaku kehilangan Rp18,8 juta dalam 30 sampai 40 menit saja.

NS kepada awak media ini menceritakan kronologi hingga ia mengalami kerugian belasan juta. Kata dia, di algoritma instagramnya selalu muncul iklan lowongan kerja paruh waktu. Ia yang tengah mencari pekerjaan paruh waktu untuk menambah penghasilan, langsung mengklik iklan tersebut dan diarahkan ke Whatsapp admin.

Sebelumnya, NS juga pernah mengalami hal serupa, tetapi ia langsung terhubung ke laman website. Dia melakukan pengecekan melalui mesin pencarian google dan menemukan website tersebut adalah website penipuan.

Lain halnya ketika saat itu, karena terhubung ke akun Whatsapp, NS tidak curiga sama sekali.

“Jadi pertama dia bilang, halo kak, kami adalah Blibli, perusahaan yang bekerja sama dengan beberapa pedagang online besar lainnya. Apakah kakak ingin bergabung menghasilkan uang dengan kami? saya bilang oke,” tuturnya, Sabtu (13/05).

Orang tersebut kemudian menjelaskan secara sederhana, bahwa perusahaannya bergerak di bidang periklanan yang menawarkan program jasa atau perusahaan atau brand ternama. NS sendiri diminta membuka laman website yang mereka berikan, supaya bisa membantu meningkatkan atau meramaikan pengunjung di website tersebut.

“Setelah melakukannya saya berhak mendapatkan komisi 20 sampai 30 persen,” ujarnya.

Menurut NS, saat itu belum ada tendensi penipuan. Ia kemudian dimintai data diri seperti nama, pekerjaan, kota asal sesuai KTP, dan dibuatkan akun. Setelahnya, ada misi percobaan yang ditawari kepada NS dengan bonus Rp24 ribu, dan dapat langsung melakukan penarikan.

Ia kemudian diarahkan ke akun WAG (Whatsapp Group) VIP Blibli, dengan jumlah anggota sekitar 30 orang, dan mendapatkan mentor. Di dalam group itu ada anggota yang memberikan pernyataan bahwa ia telah ke kantor polisi dan memastikan project ini benar dan ia sendiri merasa malu karena telah melaporkan ke polisi. Ada juga yang mengirimkan bukti ia berhasil melakukan penarikan dana.

“Dalam WAG tersebut, ada tugas yang diberikan dan akan diproses 5 sampai 10 menit saja untuk melakukan penarikan, tetapi harus melakukan top up. Misalnya top up Rp100 ribu dengan komisi Rp20 ribu, dan bonus Rp24 ribu. Karena menurut saya berhasil, saya top up lagi Rp300 ribu, kemudian Rp2 juta. Setelah top up Rp2 juta, saya tidak bisa lagi melakukan penarikan,” terang NS.

Agar dapat melakukan penarikan, ia diarahkan top up beberapa kali dengan nominal berbeda, hingga mencapai total kerugiannya.

NS sendiri sempat mendapatkan peringatan dari aplikasi Dana, dengan ditolaknya transaksi tersebut karena alasan keamanan. Tetapi mereka memberikan Virtual Akun BRI, dan NS kembali melakukan transaksi. Setiap kali top up, NS diberikan barcode yang berbeda.

“Karena top up terakhir tidak bisa dilakukan penarikan, saya diarahkan ke layanan pelanggan. Tetapi saya kembali diminta melakukan aktivasi untuk mengaktifkan data sekitar Rp25 juta sekian agar dapat dikreditkan Rp60 jutaan,” lanjutnya.

Setelah sadar telah tertipu, NS segera melakukan pemblokiran rekening, mengganti pin ATM berikut kartu ATM dan buku tabungan baru, serta melapor ke CS Dana. Tetapi CS Dana meminta surat laporan dari kepolisan.

NS memutuskan untuk tidak melaporkan ke polisi karena ia tahu, sebagai korban, ia akan disalahkan. Ada orang terdekatnya juga menyalahkannya, bahkan memberikan kalimat terkesan menyindir, sebab ia adalah seorang tokoh pemuda yang lumayan punya pengaruh, tetapi dapat tertipu.

NS sendiri sempat menyalahkan dirinya, bahkan hampir menyakiti diri sendiri, pasca kejadian tersebut,

Menanggapi kasus tersebut, Psikolog I Putu Ardika Yana menjelaskan, pada dasarnya semua orang bisa tertipu, tidak ada orang yang bisa bebas dari tipuan. Tetapi biasanya, kata dia, ada faktor risiko, dan salah satunya adalah keadaan sosial, psikologis, maupun pendidikan.

“Misalnya, orang yang berpendidikan lebih rendah cenderung lebih mudah tertipu karena ketidaktahuannya. Orang-orang yang berpendidikan tinggi akan lebih sadar terhadap penipuan. Tetapi tidak berarti orang yang berpendidikan tinggi tidak kena tipu, karena masalah sosial atau masalah psikologis,” jelas Ardika.

Contoh lain, kata dia, ketika seseorang punya masalah psikologis terkait lingkungannya dan depresi. Orang-orang depresi cenderung menurun kualitas pengetahuannya.

Karena kondisi itu, lanjut dia, membuat cara berpikirnya menjadi menurun, sehingga tidak bisa berpikir lagi dengan jernih, begitu ada stimulus, seperti kerja sampingan, seseorang itu akan cepat kena.

“Jadi ibaratnya, dapat dikatakan bahwa orang yang berpendidikan begitu punya masalah yang berat, atau depresi, bisa jadi bodoh, gampang tertipu, kata kasarnya kayak gitu. Jadi karena dia depresi, dia merasa tidak bisa melihat jalan lain, maka ketika ada opsi untuk keluar dari kondisi itu, makanya dia pilih, yang sebenarnya itu tipuan. Orang yang depresi mengalami tekanan, dan orang gak mau berlama-lama dalam tekanan itu. Jadi dia berpikir bagaimana keluar dari tekanan itu,” imbuhnya.

Reporter : Iker
Editor : Rifay