PALU – Tim Pembela Muslim (TPM) Provinsi Sulawesi Tengah, Andi Akbar Panguriseng angkat bicara menyikapi tewasnya dua pekebun di Kabupaten Poso yang diduga menjadi korban salah tembak oleh aparat kepolisian.
Akbar mengatakan, apa yang dilakukan aparat di Poso merupakan extra-judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang masuk dalam kategori Pelanggaran HAM berat.
“Pembunuhan di luar putusan pengadilan dilakukan oknum kepolisian terhadap orang-orang diduga terlibat kejahatan merupakan sebuah pelanggaran hukum acara pidana serius,” kata Andi Akbar, Rabu (03/06).
Sebab, kata dia, orang-orang yang baru diduga terlibat kejahatan saja mempunyai hak untuk dibawa ke persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) guna membuktikan bahwa apakah tuduhan disampaikan negara benar.
“Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka dihilangkan nyawanya sebelum proses peradilan dapat dimulai. Penuntutan terhadap perkara tersebut akan otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, kedua almarhum tersebut tidak punya bukti yang cukup untuk diduga melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana tertuang di pasal 16 -17 KUHAP dan undang -undang terorisme.
“Sedangkan baru diduga harus diberlakukan sebagaimana ketentuan undang-undang yaitu asas praduga tak bersalah,” katanya.
Dia menyebutkan, dari kasus Qidam sampai kasus Firman dan Syrafuddin, aparat tidak punya bukti permulaan cukup untuk mereka dikatakan diduga sebagai pelaku tindak pidana kejahatan atau melakukan tindak pidana terorisme.
“Sebagaimana ketentuan pasal 17 KUHAP pasal 21 ayat 1, pasal 1 angka 14, dan putusan mahkamah konstitusi Nomor 21/PUL/XII/2014,” ujarnya.
Olehnya itu kata dia, tindakan pembunuhan secara biadab yang dilakukan oknum kepolisian, tidak boleh dibiarkan. Pihaknya pun mengajak semua elemen masyarakat untuk mengutuk tindakan biadab tersebut dan mengusut tuntas kasusnya dengan terang benderang dan seadil-adilnya.
“Satuan Tugas Tinombala segera dievaluasi. Kami juga mempertanyakan apakah mereka masih layak dikatakan sebagai institusi pelayan pelindung masyarakat, setelah banyak peraktek extra judicial killing yang mereka lakukan,” imbuhnya.
Diketahui, berdasarkan keterangan pihak keluarga, penembakan tersebut terjadi di Pegunungan Kawende kilometer 9, Dusun Gayatri, Desa Kawende, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Selasa kemarin.
Sebelum kejadian, kedua korban bersama empat rekannya sedang beristirahat di sebuah pondok, usai beraktifitas memetik buah kopi secara berkelompok.
Saat mereka berencana pulang ke rumah di Dusun Sipatuo, hujan pun turun, sehingga harus singgah berteduh. Saat itulah mereka diberondong tembakan dari jarak sekitar 50 meter. Rentetan tembakan itu akhirnya mengenai dua orang, yaitu Syarifuddin dan Firman.
Syarifuddin tewas di lokasi kejadian, sementara Firman meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Sementara empat orang lainnya, Fardil, Agus, Muhajir dan Anhar berhasil menyelamatkan diri dari tembakan itu.
Makmur, salah satu saksi mata yang ikut dalam proses evakuasi jenazah. Ia menyatakan bahwa pelaku penembakan terhadap rekannya adalah oknum polisi yang berjumlah sekitar delapan orang.
Dugaan kuat tersebut karena usai penembakan, mereka didatangi oleh para pelaku yang meminta maaf karena telah salah tembak. Para pelaku menduga bahwa ia dan rekannya adalah DPO jaringan Ali Kalora.
“Setelah jatuh dua orang, sekelompok orang dengan senjata lengkap mendatangi kami yang sedang mengurus jenazah dan mengaku kalau mereka salah tembak. Tapi anehnya, mereka tidak pakaian lengkap, hanya pakai baju kaos mirip anggota Brimob,” jelas Makmur. (IKRAM)