OLEH: Muhammad Mundzir*
Fatimah RA merupakan sosok wanita yang sangat disegani oleh perempuan di dunia. Bagaimana tidak, beliau merupakan sosok yang secara tidak langsung mempraktekkan kesetaraan gender. Wanita yang berani berperang melawan kaum kafir. Tidak hanya itu, beliau juga member contoh menjadi sosok istri yang romantic bagi Ali bin AbiThalib.
Fatimah merupakan putri keempat dan putrid bungsu Rasulullah SAW. Dalam kehidupan bermasyarakat Arab, antara jati diri laki-laki dan wanita tidaklah kufu’. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan Fatimah Az-Zahra, baik dalam lingkungan masyarakat keluarganya, lingkungan sekitarnya maupun dalam sejarah Islam. Ia meninggalkan corak sejarah yang sangat penting. (SAW, 1997)
Kelahirannya sangat disambut dengan gembira oleh kelurganya, baik ayahnya, ibunya dan tidak kalah juga kakaknya, Zainab RA. Sampai-sampai Zainab memberlakukannya seperti anak sendiri. Akan tetapi, kegembiraan itu tidak bertahan lama, satu demi satu mereka meninggalkannya. Zainab pergi mengikuti suaminya Abul ‘Ash, Ummi Kaltsum dinikahi oleh Utaibah dan Ruqayyah dinikahi oleh Utbah, kedua menantu Rasulullah tersebut merupakan keluarga Abu Lahab. (Abdurrahman, 1992)
Ayahnya juga mulai sibuk dengan pemikiran-pemikirannya. Beliau telah menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dunia dan pergi berkhalwah, beribadah dan merenung. Sedangkan ibunya juga sibuk menyuguhkan ketenangan jika ayahnya di rumah dan mengikuti ayah dengan hatinya jika beliau sudah pergi. (Syathi’, 1975)
Fatimah saat kecil merupakan salah satu putrid Rasulullah yang berani mengikuti beliau tatkala dakwah. Fatimah tidak takut akan ancaman, penganiayaan yang dilakukan oleh kaum Musyrikin kepada saudara-saudaranya.
Pada suatu hari ia menyertai ayahnya untuk ikut berdakwah. Setiba beliau dekat sudut Ka’bah ada orang-orang Quraisy mendekat dengan keadaan emosi. Mereka mendekat dengan emosi dan menanyakan apakah benar Rasulullah menghina nenek moyang kami, dan Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang tegas “Iya”. Lalu salahsatu orang tersebut menarik baju depan Rasulullah dan tangannya siap memukul. Abu Bakar yang kebetulan dekat dengan lokasi kejadian melerai dan memarahi mereka dengan nada emosi. Para golongan tersebut malah menghabisi Abu Bakar. Kemudian mereka mendekat lagi ke Rasulullah dan Fatimah, tetapi Fatimah menjerit dan mengundang warga pengikut Rasulullah dan melerainya. (SAW, 1997)
Hal ini menjadi cerminan, bahwa Fatimah merupakan wanita yang pemberani, padahal pada saat itu Fatimah masih berumur delapan tahun. Sungguh perempuan yang aneh tetapi hebat. Jika kita lihat dalam konteks zaman sekarang, orang tua lebih mendidik anaknya untuk berdiam diri, mengikuti perkembangan zaman lewat handphone atau android yang diberikan, akibatnya perkembangan karakter anak hanya ditingkatkan melalui pendidikan di sekolah dan di keluarga sendiri. Berbeda dengan pemikiran orang-orang yang backgroundnya santri, maka orang-orang seperti itu akan mendidik anaknya agar kelak seperti Fatimah Az-Zahra, tentunya tempat yang paling layak untuk menjadikan karakter tersebut adalah di pondok. Baik itu di pondok modern atau di salaf. Karena di pondok merupakan ajang untuk menguji mental anak dan memacunya untuk memiliki jiwa kemandirian, keberanian, dan kepemimpinan.
Fatimah merupakan sosok yang memiliki pribadi penuh tanggung jawab. Dengan perjuangan kokoh yang dilakukan oleh ayahnya, maka sudah menjadi tanggung jawab sebagai anak jika ayahnya mengalami sakit dan banyak pikiran.
Dahulu sebelum dirinya lahir, ibunyalah yang merawaat dan memberi spirit kepada Rasulullah ketika turunnya wahyu. Dan sekarang ketika ibunya wafat, maka otomatis dialah yang menjadi pengganti ibunya ketika ayahnya mendapat tekanan pikiran. Fatimah menjadi saksi atas berbagai peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun yang berat di Makkah. Ia juga menjadi saksi perkembangan sejarah yang abadi pada kehidupan ayahnya yang membawa amanat yang sangat besar untuk disampaikan kepada umat. (Quthb, 2010)
Fatimah tumbuh berkembang di antara ibu yang mulia, yang menanamkan kemuliaan dan kasih saying dalam jiwanya yang suci. Ia tumbuh dalam buaian kasih ibundanya yang menempanya dengan kebijakan dan keimanan. Rasulullah memberlakukan putrinya dengan baik, bahkan mengistimewakannya. Jika putrinya marah, ia ikut marah. Jika putrinya senang, ia ikut senang.
Fatimah tumbuh besar. Kehadirannya memancarkan cahaya seperti ayahnya. Kecantikan, kehalusan, kecerdasan terkenal ketika ia menetap di Makkah dan juga setelah hijrah ke Madinah. Tidak heran jika banyak kaum Muhajirin dan kaum Anshor ingin meminangnya. Mereka dating untuk meminta mutiara yang amat berharga ini. (Fauzi, 2013)
Orang yang pertama melamar Fatimah adalah Abu Bakar. Rasulullah menampik dengan ungkapan yang bijak, “Wahai Abu Bakar, hingga saat ini ketetapan mengenai hal itu belum lagi turun.” Umar bin Khattab mendengar kabar itu kemudian mengajukan lamarannya kepada Rasulullah, yang juga menampiknya dengan ucapan yang sama. Kemudian keduanya Abu Bakar dan Umar bin Khattab menuju ke Abdurrahman bin Auf untuk segera meminang Fatimah. Dua sahabat tersebut berkata kepada Abdurrahman bin Auf, “Engkau adalah orang yang paling kaya di antara Quraisy. Jika engkau menemui Rasulullah dan melamar Fatimah untuk dirimu, niscaya Allah akan menambahkan kekayaan dan kemuliaan kepadamu”. Kemudian Abdurrahman bin Auf menuju Rasulullah dan melamar Fatimah, tetapi jawaban Rasulullah sama saja dengan sebelumnya. Setelah Abdurrahman bin Auf juga ditolak oleh Rasulullah, maka dua sahabat tersebut berpikir siapakah yang pantas untuk menjadi pendamping Fatimah? Maka keduanya menemui Ali, karena mereka mengetahui posisi Ali yang sangat luhur di sisi Allah dan Nabi SAW. Dalam hati Ali sendiri berkecamuk pikiran apa yang engkau punya sehingga berani melamar Fatimah, ia berpikir apa yang aku punya untuk melamar Fatimah putrid Rasulullah SAW. Akan tetapi dengan tekad berani Ali berangkat untuk melamar Fatimah, ia menghadap Rasulullah dengan menunduk karena takut untuk mengatakannya. Rasulullah mengetahui apa yang berkecamuk dalam pikiran Ali, akhirnya Rasulullah member lampu hijau kepada Ali untuk meminang Fatimah. (Fauzi, 2013)
Fatimah merupakan sosok wanita yang sabar, dan menerima apa adanya. Berawal dari pernikahannya dengan Ali yang tidak memiliki harta, dan berani untuk hidup berisiko. Suaminya sedemikian miskin, sehingga tidak mampu untuk membeli seorang budak untuk menjadi pelayan ketika Fatimah capek. Jadi Fatimah bertugas sendirian untuk menyelesaikan tugas rumah tangga.
Pada siang hari, Rasulullah pulang dari peperangan dan membawa harta rampasan dan wanita-wanita yang akan dijadikan budak. Ali mengetahui hal tersebut, mereka berdua menemui Rasulullah untuk meminta wanita satu untuk dijadikan sebagai pelayan rumah tangga di rumahnya, tetapi Rasulullah menolaknya. Malam harinya ketika suhu udara sangat dingin, Ali dan Fatimah kedinginan karena tidur beralaskan kasur yang kasar dan tidak ada selimut, mereka berebut. Kemudian Rasulullah dating mengetuk pintu, masuk dan mengajarkan amalan untuk mengalahkan keletihan jasmani. (Syathi’, 1975)
Fatimah tidak pernah membuat suaminya kesal ketika berumah tangga. Ia selalu taat, setia melayani kehidupan suaminya. Ia hidup dengan kesederhanaan, rendah hati dan perhatian kepada suaminya. Ia menghargai suaminya dengan cara terbaik, menghormati setiap yang diperjuangkan oleh suaminya. Karena sang suami merupakan pewaris Rasulullah, pemegang perwalian, pemilik bakat-bakat istimewa. Maka dari itu, Fatimah sangat mengagungkan suaminya, ia selalu memberikan ucapan terima kasih atas apa yang diberikan oleh suaminnya. (Ordoni, 2007)
Fatimah Az-Zahra juga mendapatkan gelar Ummu Abiha. Ia adalah sosok yang memberikan bantuan kepada ayahnya serta melayaninya, ia juga putrid Rasulullah yang paling kecil yang selalu menemani dan menjaga Nabi SAW setelah wafatnya Siti Khadijah. (‘Adawiyah, 2010)
Dapat dipahami bahwa Rasulullah sangat mencintai Fatimah Az-Zahra dan sebaliknya. Perjuangan mencicil menjadi seorang pendamping Rasulullah sudah dijalaninya sejak kecil setelah ibunya wafat. Hal itu dapat menjadi contoh, bahwa Fatimah bukanlah sosok yang pemalas, manja, dan keras kepala. Hal itu didukung juga oleh pendidikan yang diberikan ibunya, baik Siti Khadijah dan Siti ‘Aisyah yang mendidiknya menjadi wanita berkarakter dan cerdas.
Suatu hari ketika Fatimah berdoa setelah sholat, putranya Husain memperhatikannya dan bertanya mengapa engkau tidak mendoakan keluarga kita dan malah mendoakan tetangga dahulu. Fatimah menjawab dengan halus, sebaiknya mendahulukan tetangga kita yang serba kekurangn sebelum mendoakan kita. (Amini, 2005)
Jiwa social juga merupakan factor kehidupan yang sangat penting, karena tanpa jiwa sosial yang dilakukan, maka manusia seakan-akan hidup sendiri tanpa melihat kebaikan-kebaikan orang di sekitarnya. Fatimah Az-Zahra telah mencontohkan dengan seksama, ia memiliki jiwa social terhadap tetangganya. Ia menganggap, kehidupan tetangganya lebih baik dijamin terlebih dahulu sebelum kehidupannya terjamin. Ia setiap hari mendoakan seluruh tetangganya sebelum ia berdoa untuk dirinya sendiri. Ia lebih baik member makan tetangganya dahulu sebelum keluarganya dapat terisi perutnya. ***
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Hadits, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta