Wali Kota Palu Paksakan RUPS PT BPST, Gubernur Tak Mau Tandatangan

oleh -
Suasana di Pintu masuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu. (Tim Liputan)

PALU- Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT. Bangun Palu Sulawesi Tengah (BPST), Badan Pembangun dan Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, pada 23 November 2021 lalu, sangat dipaksakan oleh Wali Kota Palu, Hadianto Rasyid.

Pemaksaan RUPS PT BPST itu, menjadi fakta, Wali Kota Palu melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberhentian dan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMD, serta Anggaran Dasar Perseroan.

Selain telah menabrak sejumlah aturan tersebut, para direksi yang diangkat saat RUPS, juga tidak melewati uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), melalui tim yang terdiri beberapa unsur seperti akademisi, pejabat Pemkot Palu, DPRD, atau lembaga independen yang profesional dengan keahlian tertentu.

Hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan itu, kemudian dibawa ke Rapat Umum Pemegang Saham guna mendapatkan pengesahan. Di sinilah mekanisme itu tidak lakukan, namun tiba-tiba Wali Kota Palu langsung menunjuk sejumlah orang sebagai komisaris dan direksi PT BPST.

Lantaran itu, Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura selaku Ketua Dewan Kawasan KEK Palu tidak menandatangani hasil RUPS tersebut.

BACA JUGA :  Gudang Rupbasan Palu Ditata Ulang, Basan Baran Makin Tertib

RUPS PT BPST itu dilaksanakan tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), karena tidak dihadiri oleh seluruh pemegang saham dan dewan komisaris.

Dalam Pasal 75 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 disebutkan RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat.

Mekanisme itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), khususnya pada BAB V (Organ dan Pegawai BUMD), dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 tahun 2018 pada BAB III tentang Tata Cara Pemberhentian dan Pengangkatan Direksi dan Komisaris BUMD, serta Anggaran Dasar Perseroan.

“Sampai sekarang saya tidak pernah mengundurkan diri, sebagai salah seorang direktur di PT BPST,” kata Mohammad Agus Rahmat Lamakarate, salah seorang direktur PT BPST, Jumat, (10/12).

BACA JUGA :  Empat PJU Polda Sulteng Lolos Sespimti 2025

Pernyataan yang sama disampaikan Derry Djanggola, salah seorang komisaris di perusahaan milik Pemprov Sulteng dan Pemkot Palu tersebut.

Maka tidak heran, jika hingga saat ini belum ada akta perubahan PT. BPST dan SK Wali Kota Palu, karena hasil RUPS itu belum disetujui oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura.

Bahkan, semua berkas yang disodorkan oleh Wali Kota Palu, hingga sekarang masih berada di meja kerja Gubernur Sulteng. Informasi yang diperoleh media ini menyebutkan, Gubernur Rusdy Mastura enggan menandatanganinya, sampai dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS LB) berikutnya, guna mengesahkan direksi dan komisaris hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan.

Bahkan, Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura selaku salah seorang pemegang saham, justru tidak hadir dalam RUPS PT BPST yang dipaksanakan tersebut, tetapi di dalam daftar hadir RUPS nama Gubernur Sulteng justru tercatat, namun tidak ada tanda tangan kehadirannya.

BACA JUGA :  IMM Sulteng Desak Kapolri Copot Kapolda dan Kapolresta

Berdasarkan pada semua regulasi tersebut, berarti dewan komisaris dan direksi PT BPST yang lama, yakni Derry Djanggola (komisaris) dan Andi Mulhanan Tombolotutu (Direktur Utama), Mohammad Agus Rahmat Lamakarate (Direktur Kerja Sama dan Investasi) dan Firman Lapide (Direktur Keuangan), masih harus tetap menjalankan tugasnya sampai dengan adanya direksi dan komisaris yang baru hasil Uji Kelayakan dan Kepatutan, atau hingga berakhirnya masa jabatan pada April 2022 mendatang.

Sedangkan para komisaris dan direksi baru yang diangkat melalui RUPS itu dianggap tidak sah, sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai badan pembangun dan pengelola KEK Palu.

Memang diakui, Pemerintah Kota Palu memiliki 51 persen saham di PT BPST, tetapi tidak serta merta mengabaikan mekanisme yang diatur dalam berbagai regulasi tersebut. Oleh karena itu, pelaksaan RUPS pada 23 November 2021 lalu itu, justru menggiring Wali Kota Palu melakukan mall administrasi.

Maka pihak Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah dapat turun tangan mengecek pelanggaran administrasi dan pengabaian terhadap seluruh regulasi tersebut. (*/Ikram)