PALU- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah mencatat berbagai permasalahan lingkungan dan ekologis, serta konflik lahan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), sepanjang tahun 2022.
Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Tengah (Sulteng) Sunardi Katili mengatakan, perkebunan skala besar, fokus melihat pada dua hal yakni Pertama, Perkebunan Kelapa Sawit dan Kedua, Kawasan Pangan Nusantara (KPN) Desa Talaga.
“Investasi Perkebunan kelapa sawit masih menyisahkan berbagai konflik rakyat 2022. Sengketa lahan berkepanjangan dengan upaya penyelesaian terkesan lambat oleh pihak pemerintah daerah masih menjadi momok bagi petani,” kata Sunardi Katili turut didampingi Ketua Dewan Daerah WALHI Sulteng Richard Labiro, di Kantor WALHI Sulteng, Jalan Tanjung Manimbaya Kota Palu, Jum’at (30/12).
Ia mengatakan, konflik lahan melahirkan gejolak protes-protes rakyat yang beberapa berujung pada kriminalisasi oleh aparat negara, mulai dari penangkapan hingga pemenjaraan terhadap petani.
Selain di sektor perkebunan kelapa sawit, WALHI Sulteng juga menyoroti salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) yakni Kawasan Pangan Nusantara (KPN) yang diimplementasikan di Sulteng 2022 ini.
“Penetapan KPN ini ditandatangani dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor: 504/117/.1/DBMPD-G.ST/2022 tentang Penetapan Desa Talaga Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala sebagai Kawasan Pangan Nusantara (KPN) Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional atau Food Estate (FE) seluas 1.123,59 hektar,”paparnya.
Lebih lanjut ungkapnya, hasil investigasi lapangan Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA) bersama dengan Eksekutif Daerah WALHI Sulteng, September 2022, ditemukan fakta-fakta lapangan antara lain, masyarakat sekitar lokasi titik nol tak mendapatkan informasi utuh terkait rencana pembangunan KPN.
“Padahal mereka paling terdampak secara langsung dari kehadiran KPN tersebut,” urainya.
Dia menguraikan, masyarakat sekitar lokasi titik nol KPN, tidak mengetahui jenis komoditi dikembangkan di areal KPN Talaga, serta merisaukan dampak pembukaan areal KPN sebab ada sejumlah tanaman kelapa masyarakat tertebang, dan belum ada kejelasan ganti rugi tanamannya.
“Lokasi KPN berada jauh dari sumber air, dengan kebutuhan optimalisasi komoditas ditanam di lokasi itu, maka ia memerlukan sumber air dalam jumlah banyak, sehingga berpotensi memicu konflik sumber air di desa tersebut,” urainya.