PALU- Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (ED WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Parigi Moutong, menjatuhkan vonis bebas terdakwa Bripka Hendra, diduga kuat melakukan praktik penembakan menyebabkan hilangnya nyawa Erfaldi, pemuda asal Desa Tada, Tinombo Selatan, dalam aksi masa Aliansi Rakyat Tani (ARTI) penolakan tambang emas milik PT Trio Kencana, Februari 2022 silam.
Kepala Departemen Advokasi & Kampanye WALHI Sulteng, Aulia Hakim menilai putusan tersebut hanya menambah daftar panjang rendahnya hukuman bagi pelaku pelanggaran HAM, sekaligus juga melukai rasa keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat. Putusan tersebut sangat mencerminkan institusi pengadilan menjadi alat merawat dan melanggengkan impunitas terhadap para aparat keamanan melakukan tindakan semena-mena di luar aturan hukum, dengan mengatasnamakan penegakan hukum.
“Negara memperlihatkan watak aslinya dalam menegakkan keadilan. Tidak ada keberpihakan negara terhadap warga mempertahankan Hak atas lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan hak untuk berekspresi. Dan itu terbukti pada kasus penembakan Erfaldi ini” ujar Aulia Sabtu (04/03).
Ia menyebutkan, pihaknya menyanyangkan putusan majelis hakim membebaskan Bripka Hendra. Harusnya majelis hakim dalam putusannya out of the box (melihat dari sisi keluar dari kebiasaan-kebiasaan).
Pasalnya tindakan Bripka Hendra ini bertentangan dengan aturan pengendalian masa sesuai dengan Peraturan Kapolri (PERKAP) Nomor 16 Tahun 2006 Pasal 7 Ayat (1) huruf d yang jelas menyebutkan larangan untuk membawa senjata tajam dan peluru tajam dalam melakukan pengendalian unjuk rasa” jelas Aulia.
Hal ini juga tentu sangat bertolak belakang dengan hukum HAM International dan konstitusi Indonesia, mengingat pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan merupakan pelanggaran hak hidup, hak fundamental, seperti yang tertuang dalam hukum HAM International, Pasal 6 Kovenan International tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorangpun beoleh dirampas hak hidupnya.
Belum lagi ini tentu bertentangan dengan pedoman pasal 28H ayat (1) UUD 1945, dan UU 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimna dilakukan Erfaldi dalam mempertahankan hak atas lingkungan hidup baik.
Oleh karena itu WALHI Sulteng menilai, adanya putusan tersebut mencerminkan minimnya penghukuman berat terhadap para aparat keamanan,jelas berdampak pada proses peradilan terhadap pelaku penembakan, yang notabene adalah aparat penegak hukum.
“Majelis hakim PN Parimo telah menambah catatan buruk bagi peradilan Indonesia memberikan ruang keringanan bagi aparat kepolisian dalam melakukan tindak kejahatan,” imbuhnya.
Seperti diketahui Erfaldi (Alm) tewas tertembak dengan kondisi mengalami luka tembak dibagian punggung kanan, pada 12 Februari 2022. Pemuda asal desa Tada, Parigi Moutong ini dilarikan ke Puskemas setempat namun tidak tertolong.
Dari hasil uji balistik terhadap senjata api jenis Merk HS-9 serta satu ptoyektil ditemukan pada jaket Erfaldi, pada 02 Maret 2022 di Laboratorskriminalistik, senjata api dan proyektil tersebut benar merupakan milik Bripka Hendra.
Atas dasar hasil uji balistik di waktu bersamaan juga Kapolda Sulawesi Tengah mengumumkan bahwa Bripka Hendra sebagai tersangka atas tewasnya Erfaldi. (IKRAM)