PALU- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) melakukan investigasi terkait kehadiran dan aktivitas perusahaan tambang nikel PT. Stardust Estate Investment (SEI) dan PT. Gun Buster Nickel Industry (GNI) di Kabupaten Morowali Utara (Morut).
Ketua Dewan Daerah WALHI Sulteng, Richard Labiro mengatakan, kami menemukan fakta dan menjadi isu masalah di masyarakat, khususnya Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur dan Desa Tanauge, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara (Morut).
“Untuk dampak dirasakan warga Tanauge adanya pembangunan Jetty dan aktivitas kapal tongkang, serta perluasan kawasan industri yang mengarah ke wilayah administrasi desa tersebut,” kata Richard turut didampingi Direktur WALHI Sulteng, Sunardi Katili, di Kantor WALHI Sulteng, Jalan Sawerigading , Kota Palu, Selasa ( 9/8).
Dia mengatakan, data kementerian perindustrian perusahaan ini memiliki luasan sekitar 712,80 hektare, tapi di lapangan, kami menduga luasnya lebih dari itu.
“Dari keterangan yang mereka peroleh dari buruh setempat, perusahaan ini telah membangun tiga smelter dan baru smelter dua yang beroperasi,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulteng ini.
Ia menyebutkan, dampak yang mereka temukan, dari sisi lingkungan adanya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), warga dusun 5, Desa Bunta terpapar Sulfur Dioksida (SO2) hasil dari pembakaran batubara.
“Dan bila dinihari warga di sana merasakan adanya kabut, tapi bukan kabut seperti biasanya sebelum adanya aktivitas perusahaan,” ucapnya.
Meskipun kata dia, belum ada dampak dirasakan masyarakat setempat seperti ISPA dan lainnya, tetapi kelompok yang rentan terancam diantaranya, ibu-ibu, lansia dan anak-anak.
Selain itu kata dia, akibat adanya penimbunan sungai Lampi oleh perusahaan, ketika hujan sedikit saja , maka air sungai Lampi meluap ke pemukiman, perkebunan, persawahan dan peternakan warga dusun V transmigrasi , Desa Bunta tersebut.
“Walaupun Perusahaan bertanggung jawab atas hal tersebut. Tapi tidak menyelesaikan masalah. Perusahaan mengambil galian tanah dalam kawasan, untuk menimbun jalan-jalan yang tergenang air,” bebernya.
Ia mengatakan, atas peristiwa air meluap ke pemukiman dan lainnya, warga setempat telah melaporkan ke Gubernur Sulteng, namun sampai sekarang belum ada jalan keluar.
Sedangkan dampak dirasakan warga tanauge, terangnya, kompensasi yang tidak transparan dan terbuka pembayarannya , tidak ada sosialisasi harga kompensasi kepada masyarakat dari pemerintah setempat sebelumnya.
Selain itu menurutnya, kesepakatan luasan pembangunan Jetty antara perusahaan dan warga berubah diawal disetujui luasannya 15 hektare, seiring berjalannya waktu luasannya diduga lebih dari 15 hektare.
“Sehingga wilayah perairan tersebut telah diprivatisasi oleh pihak perusahaan guna pembuatan jalan lingkar,” tuturnya.
Pun aktivitas kapal tongkang dan penarik kapal tongkang untuk parkir depan pemukiman warga, ada harga ditetapkan perusahaan untuk dibayarkan kepada masyarakat, tapi pembayaran itu tidak dinikmati oleh warga tersebut, akibat permasalahan pemerintah desa setempat.
“Pada sisi lainnya masyarakat setempat khawatir ketersediaan air bersih mereka terdampak, akibat perluasan kawasan perusahaan,” tandasnya.
Olehnya dari hasil investigasi dilakukan, kata dia, Walhi sebagai pengorganisasian isu perburuhan, akan memperkuat warga yang terdampak aktivitas perusahaan. Dan akan menempuh upaya gugatan hukum, bila ada indikasi pelanggaran lingkungan.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG