JAKARTA- Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menyampaikan, dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), perampasan wilayah kelola rakyat, beroperasi secara illegal, kriminalisasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh tiga anak Perusahaan Astra Agro Lestari (AALI) Group (PT Lestari Tani Teladan, PT Agro Nusantara Abadi dan PT Mamuang), semakin kuat.
Menurut Kepala Divisi Kampanye WALHI Nasional, Hadi Jatmiko, Kamis 29 September 2022 lalu, costumer brands internasional Nestle yang selama ini menjadi pembeli tidak langsung minyak sawit dari ketiga anak perusahaan ASTRA grup tersebut, menyatakan menangguhkan pembelian. Penangguhan ini dilakukan oleh Nestle setelah WALHI beserta 50 CSO Nasional dan Internasional lainnya mengirimkan surat 20 September 2022 pada Forest Positive Coalition dari costumer Goods Forum (GFC) yang merupakan konsorsium merek konsumen ternama dunia.
Surat ini merupakan lanjutan dari laporan disampaikan oleh WALHI dan Friends of the Earth US pada Maret lalu dan telah diverifikasi oleh Lembaga independent Econusantara, hasilnya memperkuat temuan laporan tersebut yang menyatakan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia berupa Perampasan wilayah Kelola Rakyat,Kriminalisasi, perkebunan ilegal dan perusakan lingkungan hidup di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Dalam catatan WALHI bersama FOE US, selain Nestle terdapat 1 Group perusahaan Costumer brand lainnya yang telah menyatakan penangguhan pembelian CPO dari Astra Group melalui Wilmar Internasional yaitu Procter&Gamble (P&G).
“Penghentian Pembelian CPO dari AALI Group oleh Buyer internasional akibat praktek jahat perusahaan terhadap HAM dan lingkungan hidup, seharusnya menjadi momentum bagi Kementerian dan lembaga terkait untuk segera melakukan evaluasi dan mencabut perizinan Anak perusahaan AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat,” ujar Hadi Jatmiko
“Pemerintah juga harus menuntut Perusahaan menghentikan Kriminalisasi terhadap masyarakat yang sedang berjuang menuntut hak atas tanah, serta melakukan ganti kerugian yang dialami oleh masyarakat atas kerusakan lingkungan hidup, sosial, ekonomi selama operasi perusahaan berlangsung di wilayahnya,” tambah Hadi.
Berdasarkan temuan Walhi Sulteng, sejak 2017, PT Mamuang setidaknya telah mengkriminalisasi 8 warga yang berjuang mempertahankan tanahnya. PT Agro Ana Lestari juga memenjarakan kakak beradik Gusman dan Sudirman dengan tuduhan mencuri buah sawit.
PT Lestari Tani Teladan, berdasarkan pengukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahwa areal HGU perusahaan masuk dalam pekarangan pemukiman rumah-rumah warga, serta gedung sekolah dasar (SD). Belum lagi PT LTT ini diduga melakukan penanaman sawit diluar HGU seluas 13.621 ha, dan masuk dalam kawasan hutan lindung (HL) seluas 1.603 ha, kawasan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 401 ha.
Dengan demikian, dari rentetan kasus-kasus pelanggaran lingkungan, dan pelanggaran HAM, oleh anak-anak perusahan AALI. Maka WALHI Sulteng menilai bahwa “aktifitas anak-anak perusahaan AALI, harus diberhentikan segera, bukan malah dibiarkan.
“Kriminalisasi yang berkepanjangan terhadap masyarakat adalah bentuk kejahatan yang dirawat oleh negara. Di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, AALI adalah korporasi penyumbang terbesar kasus kriminalisasi terhadap petani di sektor perkebunan sawit,” kata Aulia Hakim selaku Kepala Departemen Advokasi WALHI Sulteng kepada MAL Online, Selasa ( 4/10).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Barat Asnawi,, juga menyampaikan bahwa pelangaran demi pelanggaran dan pengabaian HAM dilakukan oleh anak-anak PT AALI seharusnya diikuti dengan peningkatan standar perlindungan HAM.
Tidak cukup hanya dengan pendekatan teori legal formal tapi juga dibutuhkan pendekatan sosial hukum yang lebih partisipatoris.
Dalam konteks konflik agraria, perusahaan ini memiliki dua tipologi konflik : pertama, perusahaan beroperasi di atas wilayah kelola rakyat yang lebih dahulu ada. Wilayah kelola rakyat ini terdiri dari wilayah transmigrasi, masyarakat lokal dan wilayah komunitas masyarakat adat Kaili Tado.
“Terhadap tipologi ini tidak dilakukan proses perpindahan hak yang clear and clean dari masyarakat kepada perusahaan. Maka ini sama artinya dengan perampasan wilayah Kelola rakyat,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI.
Tipologi ketiga, kata dia, perusahaan (PT ANA) beroperasi tanpa memegang HGU. “Perusahaan hanya memegang izin lokasi. Jika pun klaim perusahaan benar bahwa mereka memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), tetapi mereka tidak boleh melakukan aktivitas perkebunan sawit di tanah mereka kuasai saat ini,” tambahnya.
Putusan MK Nomor 138 Tahun 2015 mengubah kalimat dan substansi UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal 42 menerangkan bahwa sebelumnya memang pembangunan kebun sawit atau pengolahan dapat dilakukan apabila sudah memiliki hak atas tanah (HGU) dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau kedua-duanya. Namun, Putusan MK 138 menghilangkan kata “atau”.
Maka, tidak lagi ada alasan untuk pemerintah diam dan tidak menyelesaikan persoalan ini. Jika pemerintah tetap diam, artinya pemerintah melakukan pelanggaran hak asasi manusia masyarakat yang hidup di wilayah-wilayah konflik tersebut.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG