PALU – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Sulteng, menilai masih banyak kelemahan yang substansi dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun pemerintah daerah, salah satunya masih jauh dari keberpihakan untuk mempertahankan kedaulatan pangan.
Ranperda tersebut dianggap tidak meletakan kedaulatan pangan sebagai hal yang prioritas.
Padahal menurut Manager Kampanye dan Perluasan Jaringan, Walhi Sulteng, Stevandi, Jumat (12/07), pangan merupakan faktor penting dalam menentukan stabilitas ekonomi suatu daerah dalam pemenuhan pangan bagi masyarakatnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembangunan di Sulawesi Tengah.
Namun, kata dia, dalam Ranperda RTRW Sulawesi Tengah yang tengah disusun, pihaknya menemukan ketersediaan lahan untuk pertanian dan untuk cadangan pangan hanya 12 persen dengan luas 777.634 hektar.
“Bila dipresentasikan, maka akan ditemukan 2 persen wilayah pertanian yang eksisting, 4 persen lahan cadangan pangan dan 6 persen kawasan pangan berkelanjutan. Kecilnya luasan pangan ini tidak berbanding lurus dengan luasan perkebunan sawit serta pertambangan yang telah menguasai 44 persen wilayah Sulawesi Tengah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, data Walhi Sulteng, konsesi pertambangan telah menguasai 2.210.036 Ha dan perkebunan sawit seluas 591,606,72 Ha.
“Jumlah ini begitu kontras dengan luasan yang diperuntukan untuk ketersedian pangan,” katanya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tidak diletakkannya kepentingan pangan sebagai landasan pembagunan, berbanding lurus dengan makin meningkatnya konflik agraria yang melibatkan petani dan korporasi berbasis lahan.
Dia menguraikan, periode 2018-2019, Walhi Sulteng mencatat terdapat lima sampai 10 kali konflik agrarian yang melibatkan masyarakat dengan korporasi, baik tambang maupun perkebunan sawit.
Harusya, kata dia, penyusunan Ranperda saat ini, menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki kekeliruan Perda RTRW sebelumnya.
“Jangan lagi Perda RTRW ini menambah panjang dosa kepada masyarakat,” tekannya.
Pemerintah, kata dia, juga harus lebih teliti lagi dengan pengalaman yang sudah-sudah, bagaimana penguasaan lahan bagi korporasi di Sulawesi Tengah, telah berkontribusi terhadap berbagai persoalan, sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.
“Untuk itu kami meminta kepada pemerintah agar serius menyusun Perda RTRW ini, sebab ini berbicara hajat hidup orang banyak. Serius dalam pengertiannya adalah tidak lagi memberikan ruang bagi penguasaan lahan terhadap korporasi, cabut izin perusahaan-perusahan yang bermasalah atau berada dalam kawasan hutan. Dan terpenting RTRW ini harus lebih berpihak pada masyarakat Sulawesi Tengah bukan korporasi,” pungkasnya. (IKRAM)