POSO – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menegaskan kembali komitmennya memperjuangkan hak-hak ekologis rakyat Indonesia di tengah derasnya pembangunan yang kerap mengabaikan keberlanjutan lingkungan.
Hal itu disampaikan dalam konferensi pers bertajuk “Refleksi 45 Tahun WALHI: Dari Gugatan Lingkungan Hidup ke Keadilan Ekologis”, Kamis (16/10).
Momentum peringatan 45 tahun WALHI menjadi ajang refleksi perjalanan panjang gerakan lingkungan hidup di Indonesia serta seruan tegas terhadap negara untuk memastikan perlindungan hak-hak ekologis rakyat.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah menegaskan, organisasi lingkungan terbesar di Indonesia itu akan terus memperjuangkan keadilan ekologis di tengah derasnya arus investasi dan eksploitasi sumber daya alam.
“Pemerintah pusat maupun daerah harus hadir memastikan keadilan ekologis berjalan beriring dengan pembangunan. Jangan lagi ada rakyat yang kehilangan ruang hidup atas nama investasi,” ujarnya.
Dalam sesi refleksi, sejumlah lembaga turut memaparkan pengalaman di lapangan.
Dewan Pembina Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso, Budiman Maliki, menyoroti pentingnya transformasi menuju ekonomi hijau sebagai solusi konkret mengurangi ketergantungan terhadap eksploitasi alam.
Ia mencontohkan komunitas Pro Posoku Madu Trigona di bawah kaki Gunung Biru, Kabupaten Poso, yang berhasil mengembangkan usaha madu ramah lingkungan sekaligus mendorong pemberdayaan masyarakat berbasis komunitas.
“Kami ingin menunjukkan bahwa ekonomi berkelanjutan bisa tumbuh dari desa. Ini bukan sekadar soal produksi madu, tapi gerakan menjaga ekosistem,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Solidaritas Perempuan (SP) Sintuwu Raya Poso, Nia Sudin, menyoroti dampak sosial akibat proyek besar seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah Poso.
“Banyak perempuan kehilangan akses terhadap sumber daya air, lahan, dan ruang hidup. Dampaknya bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial dan psikologis,” tegas Nia.
Dari sisi kebijakan iklim, perwakilan Yayasan Panorama Alam Lingkungan (Y.PAL), Stevandi, menilai isu perubahan iklim kini semakin nyata dirasakan masyarakat akar rumput.
“Deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah bencana ekologis. Dampaknya dirasakan langsung oleh manusia, terutama kelompok rentan,” katanya.
Menutup refleksi tersebut, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menyerukan agar momentum 45 tahun WALHI dijadikan peringatan bagi seluruh pemangku kebijakan, baik pusat hingga daerah, untuk memperkuat komitmen pada perlindungan hak asasi manusia dan lingkungan.
“Keadilan ekologis tidak bisa dicapai tanpa penghormatan terhadap hak asasi manusia. Negara harus hadir melindungi rakyatnya dari krisis ekologis yang terus mengancam,” pungkasnya.