PALU- Tim Kuasa Hukum WALHI Sulteng dan Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR Sulteng), menghadiri panggilan permintaan keterangan oleh pihak kepolisian resort Kota Palu atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan dilakukan oleh masyarakat adat Baiya.
Mereka dilaporkan oleh Arifudin Thamrin yang mengklaim secara sepihak memiliki tanah seluas kurang lebih 13 ribu ha di tanah adat Baiya, kemudian akan dijualnya ke pihak perusahaan.
Merespon pemanggilan terhadap masyarakat adat Baiya, Kepala Departmen Advokasi dan Kampanye WALHI Sulawesi Tengah Aulia Hakim mengatakan, ini adalah bentuk pelemahan terhadap masyarakat adat mempertahankan tanah adatnya. Padahal masyarakat adat berhak untuk mengontrol, menjaga, tanah adat mereka, perusahaan dan penegak hukum harus menghormati hak ini.
Sebab hal tersebut tegas dia, dijamin oleh peraturan berlaku secara Internasional dalam Pasal 31 mengenai hak masyarakat adat diisyaratkan dalam Undrip.
“Kami meminta pihak kepolisian terutama Polres Kota Palu untuk bertindak adil, tidak berpihak pada pihak tertentu maupun perusahaan, serta kami meminta kepada pihak pemerintah Wali Kota Palu untuk segera menyelesaikan persoalan ini,” tambahnya.
Penasihat Hukum Masyarakat Adat Baiya, Parawangsa menyampaikan, seharusnya pihak kepolisian tidak boleh hanya melakukan pendekatan pidana terhadap kasus konflik tenurial begini, apalagi dalam konteks masyarakat hukum adat.
“Tanah ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, berhubungan dengan tanah terletak dalam lingkungan wilayahnya,” tuturnya.
Undang-Undang NO 5 Tahun 1960 sebut dia, mengakui dengan tegas adanya Hak Ulayat. Hak Ulayat tersebut tidak bisa dipindahkan ke hak milik atau menjadi bekas tanah ulayat, jika masih ada masyarakat adat mengelolanya.
Sebelumnya masyarakat adat Baiya telah menyampaikan kepada pihak perusahaan yang melakukan aktivitas penggusuran lahan di atas tanah adat Baiya. Namun pihak perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya, sehingga masyarakat adat mencoba menghentikannya dengan memasang tanda plakat berupa spanduk pelarangan aktivitas perusahaan di tanah adat Baiya.
“Tanah kami perjuangkan adalah tanah ulayat secara turun temurun diamanahkan kepada kami penerus generasi, jadi tanah ulayat tersebut tanah tidak boleh dimiliki oleh perorangan ataupun perusahaan, melainkan itu tanah milik seluruh masyarakat adat Baiya diperuntukan untuk keberlanjutan adat, dan amanah orang tua kami terdahulu,” jelas Pengurus Dewan Adat Baiya, Adnan Lamoho.
Baiya sendiri merupakan salah satu daerah administratif di Kecamatan Tawaeli, Kota Palu, Sulawesi Tengah, di tengah-tengah pemukiman warga terdapat sebuah bukit diberi nama “Tanahnolo” memiliki arti dalam bahasa Kaili dialek Rai adalah “Tanah Ni Potonai Inolo” artinya tanah kosong tidak bisa diakui kepemilikannya oleh pribadi atau siapapun sesuai dengan amanat dari To Baraka Ri Tanah Tongoa.
D idalam tanah ulayat ini juga terdapat Sou Eyo (Bangunan didirikan di Tanahnolo) merupakan tempat balai pertemuan adat, serta terdapat makam orang-orang terdahulu bermukim di Baiya.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG