PALU – Wakil Ketua Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tengah menilai kegiatan pengelolaan dan penjualan 8000 barel kondensat (hidrokarbon cair yang didapatkan dari sumur gas atau sumur minyak bercampur gas) dan 60 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) atau Juta Standar Kaki Kubik per Hari (gas) oleh JOB Medco Pertamina E&P, merugikan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng.
“Lapangan milik Joint Operating Body (JOB) Pertamina Medco E&P Tomori Sulawesi (JOB-PMTS) menghasilkan kondensat sebesar sekitar 8.000 barel, setara minyak per hari dengan masa kontrak operasi hingga 2027, dijual tanpa ada participating Pemprov Sulteng,” ujar Masykur, Selasa (31/10).
Selain itu kata Masykur, JOB-PMTS diperkirakan juga memasok kebutuhan gas ke PT Panca Amara Utama (PAU) sejumlah 55 MMSCFD dan PLN sebesar 5 MMSCFD tanpa partisipasi daerah.
“Dari skema hulu sampai hilir, semua jatuhnya tanpa partisipasi daerah. Jadi semua mata rantai kegiatan bisnis ini tidak melibatkan Pemprov, sebagaimana dimandatkan dalam aturan perundang-undangan,” terangnya.
Masykur menyayangkan, pemerintah pusat berlaku sangat tidak adil bagi masyarakat Sulawesi Tengah karena setiap hari produksi “uang” dalam proyek ini tidak melibatkan partisipasi pemerintah daerah setempat.
Bagi Masykur, penjualan kondensat dan gas yang dilakukan dalam bentuk perspektif Domestic Market Obligation (DMO) harusnya memberikan tempat bagi pemerintah.
“Tujuan industri dan investasi untuk mendorong pembangunan daerah. Nah kalau pemerintah hanya jadi penonton dan tukang stempel, lalu apa yang kita harapkan,” tegasnya.
Masykur berharap, pemerintah pusat, terutama SKK Migas harus mengevaluasi sejumlah proyek hulu migas di Kabupaten Banggai tersebut dengan perspektif baru. “harus perubahan perspektif, kalau tidak, investasi ini bagi kami hanya jadi menara gading, enak dilihat tak bisa dijangkau,” tutupnya. (RIFAY)