Volatilitas Kurs Rupiah dan Segitiga Mundell

oleh -
Moh. Ahlis Djirimu

Moh. Moh. Ahlis Djirimu*

Volatilitas Kurs pada September dimulai dari depresiasi rupiah sebesar 0,27 persen dari level Rp14.843,- menjadi Rp14.883,- per USD pada awal September 2022. Saat itu, semua mata uang regional terdepresiasi kecuali Dollar Hong Kong yang terapresiasi +0,01 persen. Adanya kekhawatiran the Fed akan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) dan kontraksi aktivitas manufaktur Tiongkok menjadi penyebabnya. Indeks (Purchasing Manager Index) Manufaktur Caixin Tiongkok menunjukkan penurunan dari 50,4 poin pada Juli 2022 menjadi 49,5 pada Agustus 2022.
Hingga 26 September 2022, kurs rupiah mengalami empat belas kali depresiasi, sebaliknya rupiah hanya empat kali mengalami apresiasi.

Apresiasi pertama, terjadi 6 September 2022 dari level Rp14.902,- menjadi Rp14.886,- per USD. Mayoritas mata uang regional Asia mengalami depresiasi, kecuali Baht Thailand yang terapresiasi +0,16 persen. Apresiasi ini merupakan reaksi dari pelaku pasar atas kebijakan moneter Bank Sentral Tiongkok (PBoC) yang akan memotong Foreign Exchange Reserve Requirement Ratio (RRR) dari 8 persen menjadi 6 persen sejak 15 September 2022 yang bertujuan meningkatkan kemampuan Lembaga keuangan menggunakan valas. Dampaknya adalah Indeks Shanghai Composite menguat yang didorong oleh kabar bahwa Pemerintah Tiongkok akan mempercepat investasi infrastruktur bagi growth oriented ketimbang equity for growth.

Apresiasi kedua, terjadi pada 8 September 2022, dari level Rp14.917,- menjadi Rp14.897,- Apresiasi matau uang regional ini terjadi juga pada Baht +0,71 persen, Peso +0,01 persen, Yuan +0,04 persen, Dollar Taiwan +0,08 persen. Apresiasi ini didorong oleh kenaikan bursa saham Wall Street. Indeks Nikkei meningkat 2 persen year on year pada triwulan 2 Tahun 2022. Laju pertumbuhan ekonomi Jepang mencapai 3,5 persen lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar 2,9 persen yang disebabkan atraktivitas konsumsi swasta dan belanja pemerintah sebagai konsekuensi pelonggaran aktivitas masyarakat seiring menurunnya kasus covid-19.

Apresiasi ketiga terjadi pada Jum’at, 9 September 2022 dari level Rp14.897,- menjadi Rp14.830,- yang berlaku juga pada mata uang regional Asia, kecuali Dollar Taiwan yang tutup karena libur. Penguatan ini didorong oleh the Fed yang tetap akan menaikkan FFR untuk mengendalikan inflasi. Di Asia, tingkat inflasi Tiongkok mengalami penurunan pada Agustus 2022 sebesar 2,5 persen dari 2,7 persen pada Juli di bawah perkiraan 2,8 persen.

Apresiasi keempat, terjadi pada 15 September 2022, dari Rp14.908,- menjadi Rp14.898,- seiring dengan apresiasi Dollar Singapura sebesar 0,02 persen dan Dollar Hong Kong sebesar Rp0,03 persen. Apresiasi tersebut merupakan respon atas kebijakan Bank Sentral Tiongkok yang mempertahankan suku bunga Fasilitas Pinjaman Jangka Menengah (MLF) satu tahun pada level 2,75 persen.

Pada 22 September 2022, rupiah mengalami depresiasi menembus batas psikologis Rp15.000,- dari Rp14.977,- menjadi Rp15.018,- per USD. Pelemahan rupiah ini berbarengan depresiasi Ringgit sebesar -0,27 persen, Baht -0,30 persen, Peso sebesar -0,85 persen, Yuan sebesar -0,25 persen, dan Dollar Taiwan sebesar -0,55 persen. Sebaliknya, Dollar Singapura, Yen, dan Dollar Hong Kong mengalami apresiasi berturut-turut sebesar +0,12 persen, +2,3 persen, dan +0,01 persen. Pelemahan ini disebabkan oleh kebijakan the Fed yang menaikkan FFR sebesar 75 basis poin (bps) untuk ketiga kalinya menjadi 3-3,25 persen dan adanya isyarat the Fed yang akan menaikkan lagi FFR menjadi 4,4 persen pada akhir Tahun 2022 dan 4,6 persen pada Tahun 2023. Selain itu, pelemahan ini dapat juga disebabkan oleh berkepanjangannya perang Ukraina-Rusia yang memberikan tekanan pada harga komoditas esensial dunia. Di dalam negeri, pada saat yang sama Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI-7-Day Reverse Repo Rate (BI&DRR) sebesar 50 basis poin (bps) dari 3,5 persen menjadi 4,25 persen, suku bunga deposit facility menjadi 3,5 persen dan suku bunga lending facility menjadi 5 persen. Kebijakan ini merupakan antisipasi atas ekspektasi inflasi di masa datang dan trend kenaikan inflasi ini, sekaligus sebagai langkah untuk memperkuat stabilisasi kurs rupiah sebagai konsekuensi dari ketidakpastian global. Selama tiga hari berturut-turut, rupiah kembali tertekan pada Rp15.038,- pada 23 September 2022 dan Rp15.127,- per USD pada 26 September 2022 merupakan konsekuensi dari agresivitas the Fed pada horizon 2023 untuk mengendalikan inflasi dan kebijakan Tiongkok yang berusaha menjadi nol Covid-19 di dalam negeri berkonsekuensi negatif pada kinerja perekonomian regional.

Fenomena volatilitas kurs ini sebenarnya merupakan hal yang biasa dalam pasar keuangan global. Secara teoretis, fluktuasi kurs rupiah ini tidak terlepas dari pilihan Indonesia dalam pemberlakuan sistem kurs dalam impossible trinity atau segitiga Mundell. Indonesia menurut konsep Mundell tidak dapat mencapai tiga tujuan kebijakan moneter sekaligus yakni independensi kebijakan moneter, stabilitas kurs, dan integrasi pasar keuangan dunia. Independensi kebijakan moneter dan stabilitas kurs bertumpu pada pengendalian arus modal, stabilitas kurs dan integrasi pasar keuangan dunia bertumpu pada penyatuan moneter, sedangkan integrasi pasar keuangan dan independensi kebijakan moneter bertumpu pada sistem kurs mengambang. Seperti beberapa negara Asia lainnya yakni Korea Selatan, Filipina, Thailand, Indonesia hingga saat ini lebih memilih integrasi dalam perekonomian global dan independensi kebijakan moneter. Pilihan rezim kursnya adalah kurs bebas. Tentu saja melepaskan pilihan stabilitas nilai tukar dan integrasi ekonomi dunia serta pilihan antara stabilitas kurs dan independensi kebijakan moneter. Konsekuensinya, stabilitas kurs diserahkan pada mekanisme pasar sehingga kondisinya seperti saat ini yang berlangsung sejak pemulihan pasca krisis Asia 1997.

*Staf Pengajar FEB-Universitas Tadulako