Vatunoju. Kampung itu belakangan ini rutin dikunjungi mahasiswa Sejarah Peradaban Islam (SPI) Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu. Beberapa SMA di Kota Palu juga sering menjadikan Vatunoju untuk tujuan lawatan sejarah, sebuah program praktik lapangan mata pelajaran sejarah kelas X atau kelas satu SMA.

Yang menarik di Desa Vatunonu adalah situs megalit, peninggalan purbakala. Kawasan ini kembali jadi perhatian sejak kerangka jenazah Karanjalemba atau Tomai Dompo dipindahkan dari Sukabumi ke Vatunonju pada Desember 2006 lalu.

Pemindahan kerangka tokoh ini karena dalam sejarah, dia memang berasal dari kampung tersebut yang kemudian ditawan Pemerintah Hindia Belanda dalam sebuah pemberontakan yang dipimpinnya tahun 1905. Ia wafat di pengasingan tahun 1917 di Sukabumi.

Kerangkanya dipindahkan ke tanah kelahirannya di Vatunonju atas inisiatif keluarga dan mendapat dukungan dari pemerintah dengan menggunakan dana APBD lewat program di Bidang Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Tengah.

Terlepas dari beragam kritikan terhadap pemindahan tersebut, yang jelas nama kampung Vatunonju mengemuka kembali dan menarik dibicarakan. Bukan hanya karena adanya pemindahan makam, tapi tentang kekayaan benda purbakala di perut kampung tersebut.

Berdasarkan hasil survei dan eskavasi tahun 1970-an oleh pihak Sejarah dan Kepurbakalaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulteng bersama arkelog dari pusat, menunjukkan bahwa kawasan yang topografinya berbukit-bukit itu memang kaya dengan peninggalan purbakala megalit.

Vatunonju merupakan mata rantai dari rentetan lingkaran sebaran situs megalit yang berada di dataran tinggi Sulteng.

Keberadaannya serangkai dengan situs-situs megalit di dataran Lembah Napu Kecamatan Lore Utara, Lembah Behoa Kecamatan Lore Tengah, Lembah Bada Kecamatan Lore Selatan Kabupaten Poso hingga megalit yang ada di Pipikoro dan Kulawi serta di bagian selatan Lembah Palu baik sebelah timur dan barat aliran Sungai Palu.

Salah satu peninggalan purbakala berbentuk lesung yang diberi nama vatunonju. (FOTO: media.alkhairaat.id/Jamrin AB)

Vatunonju sebagai identifikasi tentang relevansi nama kampung itu dengan keberadaan dan fungsi batu megalit dengan kehidupan sosial masyarakat pada zamannya.

Hal ini sama keberadaannya dengan Kampung Vatutau yang secara harfiah berarti batu orang atau patung manusia yang mengidentifikasikan fungsi batu dengan masyarakat setempat zaman purba.

Vatunonju atau biasa pula disebut Watunonju, berada sekitar 30 kilometer (km) sebelah selatan Kota Palu, secara administrasi merupakan salah satu desa di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi.

Vatunonju disebut juga Nojujii yang dalam bahasa Kaili berarti lesung batu atau lumpang batu. Sebutan nama desa tersebut sangatlah tepat karena sesuai kondisinya banyak memiliki lesung batu tinggala purbakala zaman megalith berusia ribuan tahun silam.

Sejak abad ke-19, desa ini telah mendapat perhatian khusus dari antropolog yang juga misionaris dari Belanda, DR AC Kruyt dan DR Nicholas Adriani yang melakukan kunjungan diplomasi ke Kerajaan Sigi.

Apa yang diamati dan dikunjungi misionaris tersebut dituangkan dalam buku “Van Poso naar Parigi Sigi en Lindoe” (1898), tapi waktu itu hanya ditemukan Vatunonju.

Cukup lama sebaran batu-batu berlubang yang diduga menjadi peralatan tradisional dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari leluhur orang Kaili kala itu. Dalam perkembangannya, tak banyak mendapat perhatian. Seakan-akan ada keterputusan historis tentang keberadaan megalit dari zaman dulu ke zaman sekarang, yang ternyata sesuai perkembangan ilmu-ilmu kebudayaan, rupanya hal itu bisa menjadi petunjuk bahwa kawasan tersebut sudah menjadi pemukiman sejak ribuan tahun silam.

Baru tahun 1974-1975 dilakukan eskavasi atau penggalian untuk kepentingan pelestarian dan penelitian ilmiah yang dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Tengah bersama tim Sejarah dan Kepurbakalaan RI.

Hasilnya, ditemukan 12 buah lumpang batu, hingga kini tetap dipelihara dan dilindungi dan Desa Vatunonju dijadikan taman purbakala atau cagar budaya arkeologi yang cukup penting. Termasuk adanya kuburan tua yang dikeramatkan masyarakat setempat.

Berdasarkan data-data arkeologis tersebut, menunjukkan bahwa Vatunonju termasuk permukiman tertua di antara desa-desa sekitarnya sesuai dengan identifikasi peninggala purba. Tinggalan megalit terdapat di Desa Oloboju satu buah dan Desa Loru enam buah.

Di sebelah barat dalam wilayah Kecamatan Dolo Selatan, juga terdapat lumpang batu di Desa Bangga (15 buah), Desa Tulo (1 buah) dan Desa Pevunu (3 buah) yang kesemuanya merupakan peninggalan megalit.

Data tersebut merupakan hasil survei kebudayaan yang diadakan tahun 1970-an, namun dalam perkembangan terakhir, menurut Iksam, seorang arkeolog dari Museum Sulteng, jumlah tersebut jauh lebih banyak dari hasil temuan sebelumnya.

Di Bangga yang kini dalam wilayah Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, juga terdapat banyak tinggalan purbakala dibanding di Vatunonju, namun kondisinya tidak terpelihara dengan baik.

Penulis : Jamrin Abubakar
Editor : Rifay