PALU – Kelompok Peduli Kampus Universitas Tadulako (KPK Untad) menegaskan dukungannya kepada aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas seluruh dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Untad.
Kasus-kasus yang dimaksud, baik yang dilaporkan sendiri oleh KPK Untad maupun oleh masyarakat yang mengetahui terjadinya dugaan korupsi, sepanjang itu memenuhi ketentuan berdasarkan aturan perundangan.
KPK Untad sejak tanggal 10 Agustus 2021 telah melaporkan adanya dugaan korupsi dalam jumlah yang cukup besar dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp56 miliar.
Laporan tersebut mencakup pembayaran atau pengeluaran pada sejumlah lembaga Non-OTK, termasuk IPCC Untad senilai Rp10.284.835, Perjalanan Dinas Luar Negeri yang menyalahi ketentuan sebesar Rp3.388.213.000, dan pembangunan sarana pendukung auditorium senilai Rp14.008.300.000.
Selanjutnya, degradasi system IT termasuk SIAKAD yang diperkirakan telah menyebabkan terjadinya kerugian keuangan negara senilai Rp13.500.000.000, serta dana hibah orang tua mahasiswa Fakultas Kedokteran Untad dengan nilai sekitar Rp15 miliar.
Menurut Wakil Ketua KPK Untad, Jamaluddin Mariajang, Selasa (12/09), dalam perkembangannya, KPK Untad tidak hanya melakukan upaya advokasi penegakan hukum di level APH, namun juga pada institusi Aparat Pengawas Institusi Pemerintahan (APIP), dalam hal ini yaitu Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek RI selaku lembaga internal berwewenang dan BPK RI sebagai lembaga independen negara yang berwewenang melakukan pemeriksaan keuangan negara.
“Upaya advokasi KPK UNTAD telah mendorong kedua institusi tersebut melakukan pemeriksaan baik dalam bentuk audit investigasi maupun pemeriksaan atas laporan keuangan yang bermuara pada temuan kerugian keuangan negara dan hukuman disiplin di lingkungan kemendikbudristek,” katanya.
Dengan demikian, kata dia, maka secara materil gerakan yang dibangun oleh KPK Untad setidaknya berpotensi menyelamatkan keuangan negara lebih dari Rp12 miliar rupiah yang terdiri atas pengembalian atas temuan BPK RI sebagaimana yang termuat dalam LHP-LK BPK RI pada Kemendikbudristek 2022 senilai Rp1.764.081.665 dan temuan Itjen masing-masing yang angkanya melebih Rp10 miliar terkait pengembalian remunerasi sejumlah Rp2.920.576.150.
“Kemudian Perjalanan Dinas Luar Negeri senilai Rp7.114.733.025 dan Perjalanan Dinas Dalam Negeri IPCC Untad sejumlah Rp591.534.177 yang semuanya tidak sesuai ketentuan perundangan,” ungkapnya.
Dosen Antropologi, FISIP Untad itu menambahkan, temuan tersebut belum termasuk hasil audit kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh tim auditor Kejati Sulawesi Tengah yang saat ini sedang tahap perampungan dengan perkiraan kerugian negara melebihi Rp3 miliar.
“Andai dana yang dikorup itu dapat seutuhnya kembali ke Untad, maka KPK Untad akan meminta kepada Rektor agar itu dialokasikan bagi mahasiswa kelompok rentan atau terpinggirkan yang belum tersentuh oleh berbagai skema bantuan biaya pendidikan apapun dan mengalami kesulitan membiayai studi mereka setiap semester,” tambahnya.
Selain itu, lanjut dia, KPK Untad juga telah mendorong rekomendasi Itjen Kemendikbudristek kepada pihak pimpinan Untad untuk segera melakukan revisi Organisasi dan Tata Kerja (OTK) yang ditindaklanjuti dengan terbitnya Permendikbudristek Nomor 41 Tahun 2023 tentang OTK Untad, di mana pimpinan Untad dituntut untuk melakukan sejumlah penyesuaian struktural kelembagaan dan nomenklatur jabatan pada universitas terbesar di Sulawesi Tengah tersebut.
Dalam ketentuan OTK baru disebutkan bahwa Rektor Untad harus melakukan penyesuaian sebagaimana dimaksud paling lambat 3 bulan sejak peraturan tersebut diundangkan yang tenggatnya jatuh pada tanggal 13 September 2023.
“Selain revisi OTK, advokasi KPK Untad juga telah berhasil mendorong perbaikan sistem remunerasi yang selama ini tidak rasional karena berbagai kebocoran dan inefisiensi anggaran,” katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan, semua laporan KPK Untad di Kejati Sulteng telah ditanggapi dan dalam proses sesuai prosedur hukum, termasuk kasus IPCC yang saat ini berada pada tahap penyidikan.
Pihaknya berharap, semua laporan tersebut semoga dapat diproses dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku. Ia menegaskan, KPK Untad menentang keras upaya politisasi dan kriminalisasi kasus.
“Kami menolak kasus-kasus yang dilaporkan oleh siapapun, termasuk LSM, jika niatnya dijadikan sebagai alat tawar-menawar proses hukum pihak-pihak yang berperkara, apalagi untuk mencari keuntungan pribadi,” tegasnya.
KPK Untad juga mengecam ulah oknum politisi yang coba menggiring kasus korupsi dengan pendekatan restorative justice seperti yang dilontarkan salah seorang politisi belum lama ini. Dalam pandangan KPK Untad, tidak ada relevansi restorative justice untuk kasus tindak pidana khusus korupsi.
Menurutnya, restorative justice itu ranahnya menyangkut relasi perkara orang per orang yang didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan dengan tetap berpihak pada korban, bukan antara individu yang telah merugikan kepentingan publik secara luas dan merugikan keuangan negara seperti dalam kasus korupsi.
“Jadi jika ada politisi yang ngomong seperti itu pasti ngawur, semangatnya jelas anti pro justitia dalam pemberantasan rasuah kronis di Indonesia termasuk di Untad. Politisi seperti ini sebaiknya tidak perlu dipilih kembali sebagai wakil rakyat,” pungkas Jamaluddin Mariajang.
Sementara itu, Ketua KPK Untad, Prof. Dr. Djayani Nurdin, mengatakan, KPK Untad tentu saja menyambut baik berbagai inisiatif masyarakat seperti LSM yang turut mengawasi lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Menurutnya, laporan masyarakat tersebut justru semakin memperkuat laporan yang telah disampaikan lebih awal oleh KPK Untad.
Sekretaris KPK Untad, Dr. Muhtar Lutfi, menambahkan, kasus prasarana auditorium yang dibangun tidak lama setelah terjadinya peristiwa gempa bumi 28 September 2018, juga telah dilaporkan. Bukan hanya di Kejati tetapi juga di KPK RI, BPK RI dan Itjen Kemendikbudristek.
Menurut penilaian KPK Untad, kata dia, proyek tersebut terkesan sangat dipaksakan.
“Coba anda pikir sendiri bangunan utama yaitu auditorium dalam kondisi rusak berat akibat gempa, namun mengapa justru memaksakan membangun prasarananya yaitu landscape atau pertamanan?, itukan mubazir namanya,” ungkapnya.
Kata dia, KPK Untad menilai ada pihak-pihak yang telah meraup keuntungan lebih awal dari proyek tersebut sehingga tetap dipaksakan.
“Jadi silahkan saja APH memeriksanya lebih lanjut. Laporan LSM seperti yang beredar di media daring itu sebenarnya adalah proyek berulang. Saat bangunan auditorium selesai, pembangunan prasarana landscape yang dipaksakan tadi akhirnya ditenderkan kembali karena kondisinya telah rusak, itukan jelas sangat mubazir karena dibangun dua kali,” ungkap Lutfi.